Jendela berbingkai merah muda itu berderit dipimpong angin malam yang gundah. Seraut wajah membiaskan bait-bait luka itu masih betah memandangi barisan gemintang yang sibuk mengerlingi bulan pemalu di antara kabut tipis. Desah nafas lirih membaur dibisiknya angin, jelas keresahan menemani luka di wajah itu. Wajah yang cantiknya masih bergeming meski masa telah lama meninggalkan ranum remajanya. Wajah cantik penuh luka. “Cantik”.
Cermin di kamar tak satu pun utuh melukiskan cantik itu, akan ada guratan luka yang serta merta meretakkan cermin-cermin dan kaca yang menatap cantik wajahnya. Sama retaknya hatinya, saat lelaki yang dicintai memilih mundur dan berlalu sebab tak mampu menebus mahar untuk membeli cantiknya cantik.
“Mengapa harus menjadi cantik, ini sungguh kesakitan”
Lampu taman di seberang jendela, terang meredup ditingkahi sekumpulan laron. Serangga-serangga itu terpukau cahaya benderang. Namun setelah dekat kemudian menjauh berlompatan tersengat panas. Beberapa jatuh mati, karena tak cukup kuat menahan sengatan. Sebagian menjaga jarak dan mengintai sambil sesekali mencoba dekat lagi.
“Ah… Aku pun begitu, bagian dari diriku membunuh nyalinya, bahkan cinta pun tak mampu hidupkannya lagi”.
Tidur mungkin adalah lupa, seperti malam-malam kemarin. Lupa pada kesakitan dan keletihan menggantungkan luka di raut cantik. Sebagaimana lupa pada lelaki yang nyalinya ciut melihat label “mahal” perempuan yang pernah diakui sangat dicintainya. Tapi tak mungkin selamanya lupa. Setelah bangun esok, luka itu pun ikut terbangun. Kemudian menemani melarung hari hingga bertemu pekat malam. Lagi dan lagi. Episode yang sama berulang setiapkali terbangun dan kemudian meniti detik menuju menit mengantar cantik pada masanya tertidur lagi.
Satu episode masa lagi akan menggenapkan sewindu kepahitan, sejak mula di seperempat abad usianya. Cantik tetap cantik, mengarung sepi pada sendirinya. Yang pernah di sebut kekasih masih mematung dihati, meski telah lama berlari menjauh. Dia pergi setelah menitipkan luka. Luka yang tak mampu terusir sejak kekasih itu memunggunginya.
Mata hati belum mampu menganulir luka dan bayangan lelaki bernyali ciut yang dicintanya. Mengikatkan janji pada waktu, untuk menunggu masa ketika lelaki itu memutuskan kembali menjemput lukanya dan membawanya pergi dari wajah cantik.
“Kapan masa membebaskan hati?”
Jemari lentik cantik menimang sebuah cincin yang sore tadi disodorkan padanya. Ada yang sedia membayar mahar untuk cantiknya bahkan jauh lebih dari yang menjadi harganya, “Membeli cantiknya”.
“Ahh…. Inikah akhirnya menyerah?”
Cicak berkerumun di sudut kamar, berdecak-decak melihat cantik yang masih saja memaku diri diambang jendela berbingkai merah muda. Siluet wajahnya berpendar tertimpa sinar bulan, selintas ada pelangi membias dari genangan air di mata bulatnya. Sungguh sangat cantik, bahkan saat menangis pun semesta mengakui cantiknya.
Bintang mulai mundur satu satu, memberi ruang pada langit untuk semakit pekat. Meninggalkan bulan yang tinggal separuh. Puncak malam kembali menghitung waktu dari detik pertama, memulai hari yang baru. Kemarin pun telah menjejak esok, dan pagi mulai tercium wangi lembayungnya. Namun cantik semakin resah menghitung sisa masa sebelum esok cantiknya terlelang kepasrahan. Mungkin semestinya menyerah saja, kalah pada cinta yang tak terjamah.
“Saya terima nikahnya cantik dengan mas kawin tersebut tunai!” Ijab pun terucap.
Cincin telah melingkari jemari lentik, cantik telah terbeli. Luka masih disana, bahkan kian semi dibasuh rintik di raut cantik. Senyum di bibir ranum itu masih manis walau getir tersungging di sudutnya.
“Cantik ini adalah kutukan”. cantik itu berujar mengiring perih dihati.
Penajam Paser Utara, 27 Juni 2011
*Ketika mahar menjadi momok untuk cinta…. Semestinya hati tetap nyala dalam nyali….
“Lelaki itu Matahari, silau namun menghangatkan. Hangat itu karena kasihnya juga karena airmata yang tumpah karena mengingatnya. Dia. Seonggok batu panas, mengalirkan cahaya dalam matanya. Membakar. Menghanguskan.”
Rabu, 20 April 2011. Kutulis tanggal ini dalam diary hitam setebal angkuh yang pernah kulihat di ambisimu. Lelaki pemuja mimpi. Bahkan duniamu tercipta dalam mimpi. Dan kau paksa hidup pula dalam mimpi-mimpiku. “Bermimpilah, maka aku akan hidup dalam dirimu”. Itu pesanmu sebelum menanamkan siluet punggungmu yang tertimpa cahaya matahari petang yang jingga dalam benakku. Sejak saat itu Matahari tak pernah terbit lagi. Hingga h atiku menjadi malam dalam ratusan hari berikutnya.
Dulu. Lama sebelum kepergianmu. Aku yang menghilang dari pandanganmu. Menjadi kabut bagi pertanyaan hatimu. Bukan tanpa sengaja, sebab kau telah memilih menjalani hidup yang rumit sementara aku masih ingin berlari mengejar pelangi. Perpisahan satu dasawarsa adalah kebaikan yang tercorengi dengan masuknya sebuah pesan dalam akun Facebook dengan subjek “Menyambung Tali silaturahmi”. Lelaki itu kau, datang membuka kotak memoriku. Mengingatkan “surat perahu” yang pernah kuterima dan kusimpan betahun-tahun namun hilang dengan sendirinya terbawa waktu yang mengaburkan kenangan tentang masa putih abu-abu yang telah jauh kutinggalkan. Gejolak bersahut-sahutan dalam hatiku, membaca pesanmu. Sambil memandangi notifikasi permintaan pertemanan darimu yang tampak berubah dari foto profil yang terpasang di akunmu. “Hemmm kau berubah” pikirku saat itu. Lama. Dan akhirnya kubiarkan saja dan meng-Logout keresahanku kemudian pergi mencari udara yang sepertinya hilang dari sekitarku.
Matahari. Selalu terbit dari senyum timur dan terlelap di petang barat. Tapi entah timur dan barat telah hilang dari semestaku sejak kau hadir lagi dihariku. Atau lebih tepatnya aku terusir dari siang. Dan kau menempatkan aku selayaknya bintang kecil di belantara malam. Bertahan dengan sinar yang redup. Kadang aku menurunkan hujan dan meniupkan badai dahsyat dari hatiku. Tapi tetap saja tak tersampaikan sebab siang dan malam adalah dua kehidupan yang dibatasi tembok tebal, setebal angkuhmu yang tumbuh seiring sujudnya hatiku. Dan angkuh itu yang tak mampu kulangkahi.
“Matahari Matahati…. Dan biarlah aku jadi bayangan Matahari saja…. Seperti yang kau bisikkan dalam tidur kita malam itu” desahku sembari membaca segala aktifitasmu hari ini di Facebook.
Matahari. Akulah bayanganmu. Sejauh apapun kau berlari selalu saja rantaiku terbawa mengikuti langkahmu. Kadang kau tak menyadari aku di belakangmu. Atau ketika aku tepat di samping jantungmu. Untung saja aku sangat menyayangimu, kalau tidak sudah kutikam jantungmu karena telah membuat hatiku berdarah-darah demi menyimpan perasaan cinta yang kau titipkan.
Ini bukan salahmu sepenuhnya, aku yang paling bersalah. Jika saja saat itu aku tak meng-klik Confirm untuk permintaan pertemananmu, mungkin saat ini kita masih bahagia dengan dunia masing-masing. Kau tak perlu susah payah berlari dan aku pun tak perlu mengejarmu saat ini.
“Bodoh!” umpat bayangan di cermin yang telah kuretakkan kemarin sore.
“Mengapa kau terima?”
“Mengapa kau buka lagi pintu yang sudah kau tutup bertahun-tahun lalu?”
Aku menutup telingaku, mencoba untuk tuli, tapi suara itu makin kencang mendesakku. Karena suara itu bukan dari luar tapi lantang dari dalam diriku. Membentak. Meremas-remas hatiku yang telah berkerut-kerut sejak lama. Sejak kau pergi lagi.
“Kau terlalu lemah!”
“Perempuan lemah!”
“Pantas saja kau selalu tersakiti sebab kau tak pandai menjaga hatimu sendiri”
Bentakan-bentakan kian lantang, keluar melompat dan bergema di kamar sepi tempatku menyulam harapan bersama sungai-sungai yang mengalir di dataran sembabku. Mengukir keyakin kau suatu saat kembali. Aku tahu suatu saat kau kembali, entah kapan dan entah apa saat itu aku masih di sini bertahan menunggumu atau telah mati mengering bersama anggrek tanah yang tak lagi berbunga ungu.
“Mencari sosok berhati batu… bukan yang berhati bunga… dan kau yang berhati bunga jauh-jauhlah dari kehidupanku” pesan yang kau tujukan padaku, menyikapi kecengenganku saat membutuhkan perhatian. Dan seingatku itulah pesan terakhir sebelum kau memutuskan me-remove aku dari friend list-mu.
Matahari. Tahukah kau? Akulah bayanganmu. Sesungguhnya bayanganmu. Senyumku terasa begitu lapang mengingat kau begitu bodoh telah termakan umpan yang kuberikan. Aku hadir sebagai sosok lain dalam hidupmu saat ini. Dan tahukah kau, baru saja kau mengirimkan pesan cinta padaku. Bayanganmu. Entah mengapa hatiku tak tersakiti oleh penghianatanmu. Justru menambah semangatku untuk memburumu. Sekali lagi aku merasa senyumku begitu indah. Seandainya saja kau melihatnya, aku yakin kau akan bersujud memohon ampun karena telah menyia-nyiakan waktu ratusan hari yang telah lewat.
Jemariku bermain, merambahi tuts demi tust huruf keyboard menuliskan kata, semakin semangat merantaikan kalimat yang fasih mengucapkan cinta yang manis, semanis secangkir teh yang selalu kusuguhkan padamu dulu. Dan sebentar lagi akan kukalungkan di lehermu.
Matahari. Bersiaplah menelan kekalahanmu. Sebentar lagi. Dan aku yang lain, Refeyfa Ashyila. Aku adalah bayanganmu. Jelmaan kekasih yang kau abaikan demi mengejar mimpimu yang maha besar, sebesar Matahari. Kali ini aku bukanlah Dian kekasihmu yang selalu diam. Dian yang dulu kau sebut Kendedes-mu. Yang sering kau cekoki roman klasik Kendedes-Kenarok yang kau kagumi.
Dulu. Sebelum aku tahu bahwa cintaku tak mampu melarut dalam dunia politik yang kau gemari. Dulu, ketika aku masih merasa kau sangat lucu sama lucunya ketika kau menitipkan surat perahumu di hatiku.
Tapi sekali lagi itu dulu sayang, sebelum kau bangunkan lelapku dengan ketegaanmu menempatkan aku sebagai tumbal kejayaanmu. Kini Kendedes yang memegang kerisnya sayang, entah kelak akan membunuhmu Matahari atau akan mengakhiri nafasnya sendiri. Inilah pertarungan kita. Bertarung mempertaruhkan hati yang tinggal secuil nyali dan nyalanya.
Aku tahu kau akan terjebak, semenjak kau mulai perhatian dengan barisan kata yang kutulis dalam jejak status facebook akun baruku. Mulai dari menjempoli dan akhirnya berani mengomentari. Hingga meladeniku berjam-jam membual dalam sesi Chat. Dan terakhir kali beberapa menit lalu kau setia membalas penggalan-penggalan puisiku di ruang inbox. Hahahaha… aku terbahak melihat kau memakan umpanku sayang.
Diam-diam aku menulis sebait puisi dalam notes yang kuselipkan di diary hitam, setebal angkuhmu, Matahari. Puisi ini akan jadi kabut gelap yang sanggup menidurkanmu sepanjang masa. Biar semesta kehilangan cahaya. Menjadi gelap. Menjadi malam-malam yang panjang bagi sekalian umat yang berkiblat pada pesonamu. Biar mereka merasakan gelap yang membutakanku. Dan kau Matahari, tak akan mampu terbit lagi karena cahayamu telah aku perangkap dalam toples-toples sesalanmu.
Dalam kenangan yang akan memenjarakan hatimu kelak, aku akan tersenyum manis. Sangat manis. Semanis secangkir teh yang selalu kau minta aku suguhkan di pagimu. Pagi ketika kau masih senang bergelung di dadaku. Masih mencari hangat di pelukku. Aku masih ingat kau selayaknya bayi, manja. Menjadi tidak independent jika telah masuk kepelukanku. Berbanding terbalik jika kau bergelut dengan duniamu yang penuh intrik, taktik dan spekulasi. Itulah kau Matahari. Selalu terbit dan mengedar cahaya di duniamu yang siang. Dan selalu pulang dan terbenam padaku. Petangmu.
“Nyanyikan lagu untukku dek” pintamu.
Dalam kenangan yang akan memenjarakan hatimu kelak, aku akan tersenyum manis. Sangat manis. Semanis secangkir teh yang selalu kau minta aku suguhkan di pagimu. Pagi ketika kau masih senang bergelung di dadaku. Masih mencari hangat di pelukku. Aku masih ingat kau selayaknya bayi, manja. Menjadi tidak independent jika telah masuk kepelukanku. Berbanding terbalik jika kau bergelut dengan duniamu yang penuh intrik, taktik dan spekulasi. Itulah kau Matahari. Selalu terbit dan mengedar cahaya di duniamu yang siang. Dan selalu pulang dan terbenam padaku. Petangmu.
Tapi mungkin mimpi terlau keras menarikmu. Hingga kenyamanan yang kusajikan di petang tak membuatmu pulang lagi. Kau malah mengirimku pada malam. Dengan dalih kau membutuhkanku sebagai bintang yang bisa menjadi navigatormu dalam kegelapan. Dan bodohnya aku saat itu karena terlalu menyayangimu dan rela menjadi apapun yang kau mau.
“Aku jauh bukan tak memikirkanmu dek” selalu itu yang kau bilang ketika merajuk meminta kau pulang. Lagi dan lagi aku tidak mampu menjawab katamu.
Kau terlalu larut dalam mimpi sehingga melupakan yang nyata. Kau terlalu lelap hingga mata hatimu pun tak melihat ketulusan yang aku suapkan padamu. Kau menjauh, terbenam dalam kesibukan yang tak masuk di akalku.
“Nikmatilah mimpimu, sayang. Sebentar lagi aku akan membangunkanmu dengan kejutan kecil, sebuah kecupan manis untuk hatimu yang aku rasa hampir jadi batu!” ucapku setelah mengklik tombol sent. Dan status terbaru “Rafeyfa Ashyila” muncul dilayar.
“Tahukah kamu aku mengagumimu… saat ini cukup mengagumimu saja… selebihnya itu terserah kamu”
Dan seperti yang aku inginkan kau menjadi orang yang terpengaruh untuk menyahutiku.
“Aku yang mengagumi Fey… keluasan benakmu… dan kekuatan hatimu yang tak tersentuh”
“Heeeemmmm baiklah kau telah masuk perangkapku lagi sayang”. Desisku seperti ular yang siap menerkam mangsanya.
“Tak tersentuh? Bagaimana bisa kalimat itu kau alamatkan padaku? Sementara tanganku terbuka lebar menyambut rasa…”
“Bukan tanganmu yang aku ingin menyambutku, aku butuh hatimu untuk kujadikan rumah untuk tinggal”
“Heeemmm…. Gombal…”
“Itu jujur hai perempuan…”
“Tapi menurutku itu gombal hai lelaki”
Aihh menjadi penguntit rasanya lumayan mengasikkan… tersenyum-senyum aku membaca status yang yang semakin lama semakin membuatmu terhanyut jatuh mengikuti arus permainanku.
Maafkan aku Matahari. Aku perlu melakukan ini untuk mencairkan matahatimu yang telah beku. Membuka blockade yang menutupi nuranimu. Sepertinya kau perlu merasakan sakit untuk tersadar bahwa kau pernah membuat sebuah hati tersakiti. Dan hati itu milikku.
Inilah aku bayanganmu, Matahari. Dan lihatlah, Kendedes yang memegang keris saat ini. Entah darah siapa yang akan tumpah. Kau atau aku.
“Aku sayang kamu” begitu katamu. Manis, semanis coklat yang kau selipkan di bibirku. Kita duduk berselonjor menghadap birunya laut, memandangi langit yang menjingga diatas nadir. Menanti petang habis perlahan.
Ini petang yang kesekian kalinya kita habiskan bersama, memainkan kata. Membisikkan getar-getar berdebar diantara helaan nafas yang kita buat seakan lepas namun tetap terasa kita sama menyimpan debar yang hebat ketika mata elangmu bertemu sinar malu di wajahku.
“Aku sayang kamu” katamu sekali lagi, tanganmu lihai membenahi anak-anak rambutku yang dikacaukan angin.
“Aku juga sayang kamu” bisikku lirih. Sama seperti petang kemarin, sepertinya kita hanya fasih mengucap kalimat yang sama. Seolah lisan hanya tercipta untuk konfigurasi kata itu-itu saja.
Petang kian pekat. Turun perlahan mengantar matahari yang lelah seharian mengedar bumi. Jingga pun meng-ungu, bias-bias lembayung berbayang di matamu. Kembali mengirim debaran yang hebat, menelikung di semesta hatiku.
“Sayang, bagaimana kamu memandang cinta?” ucapku melawan debar yang kian liar.
“Cinta, itu suci”
“Lantas bagaimana kamu mengkadarkan kesucian itu?”
Hanya senyum yang ada di wajahmu. Menjawab tanyaku yang menjadi gantung di benak. Pandanganku belum ingin lepas dari wajahmu, mencoba meraba-raba jawab disana.
“Bagaimana bila aku bukan perawan?” tanyaku lagi.
Ada yang berubah di sana kulihat. Senyum itu menjadi hambar dan perlahan pudar. Dan akhirnya kutemukan jawaban di sana. Suci seperti apa yang kau takar di diriku. Di hatiku.
“Aku sayang kamu” bisikku sekali lagi sebelum benar-benar beranjak berlalu dari petang yang juga habis untuk kita. Sebab esok tiada “kita” lagi.
Sekali aku mencinta
Tak kubiarkan jadi benci
Tergerak hatiku berkata
Cinta datang karna dirinya
Setelah lama berdua
Mengapa baru kini jujur
Tentang cinta yang kau inginkan
Dan kau menuntut kesucian
Bagaimana bila aku
Bukan perawan seperti yang engkau mau
Mungkin saja dulu ku pernah ternoda
Apa bedanya bila aku mencinta
Bisakah bila kau hapus
Sempitnya pikiranmu tentang akhir cinta
Seandainya dulu kau berlumur dosa
Sekali ku cinta tetap cinta
Dimana perjumpaan?? Apakah itu ada untuk kita??
Dan apakah rasa masih saat gerimis itu?? Aku menghabiskan masa,
Menulis bait rindu di helai malam...
Dan kau???
Kurasa berpuluh-puluh batang rokok telah meng-abu karenanya.... Aku mengasuh detik,
Menyulam impi tentang sua yang legah....
Sementara kau???
Kurasa terus berlari mengejar debu-debu yang kau sebut harapan.... Lantas dimana perjumpaan???
Ketika kita tak lagi tersimpul dalam ingin yang sama....