Serpihan Hati....

Apa yang kubisa, hanyalah mencuri jejak-jejak kenangan...
Apa yang hatiku miliki adalah serpihan-serpihan dari masa lalu...

Kamis, 12 April 2012

Lara Belum Ingin Tidur….(Cerpen)

Hujan masih mengguyur, seakan belum puas menumpahkan isi langit. Setelah seharian kemarin kemudian hari ini aku masih setia meringkuk dalam balutan selimut tua warisan bunda. Mencari kehangatan yang telah lama pergi bersama perempuan cantik dengan senyuman manis, yang memberiku kesempatan hadir di dunia. Bunda, pergi membawa pelukan hangatnya.
“Hujan, mengapa kau mengajak rasa malas menggodaku? Deadline mengejarku beberapa hari ini, tahukah kau itu?”
Aku masih belum tahu alur apa yang akan mengikat kisahku kali ini. Dengan sedikit tabungan kata kucoba kembali merangkai kalimat, semoga saja menetaskan sesuatu yang dapat memuaskan para pembacaku nanti.
Zora… di bawah naungan kerlip bintang menghirup udara dengan segenap asa, semoga saat ini di belahan dunia yang lain ada sesorang yang sama sepertinya sedang merasakan kerinduan. Kerinduan yang sama pada dirinya.
Helai-helai daun akasia jatuh berguguran, Zora memungutinya satu per satu. Setiap helai dihargainya dengan satu rindu jika ada seratus helai maka seratus rindu yang kini ada di hadapannya. Zora menuangkan kerinduannya pada helai-helai yang kemudian diterbangkan angin malam. Zora berharap pesan rindunya sampai pada hati yang di tujunya.
Ahh…..andai saja aku juga dapat menjadi seperti “Zora” dapat merasakan kerinduan pada kekasih hatinya, namun kenyataannya aku terlalu takut tuk menjadi “Zora”.
Pengalaman dan jalan hidup pahit yang pernah mewarnai hampir seluruh waktuku membuat aku benci berkekasih. Karena bagiku hanya berujung pada kepahitan dan derita. Masih terbayang rona biru yang tak pernah lepas dari wajah bunda, itu adalah buah kasih yang ditoreh oleh seseorang yang diakui mengasihinya.
Bahkan sampai saat ini aku tak pernah habis fikir, bundaku yang hingga akhir hayatnya tetap menganggap lelaki bejat itu adalah kekasihnya. Bagiku jika memang benar cinta itu indah mengapa harus ada kekerasan, mengapa harus ada airmata yang tumpah.
Dalam hidupku, satu-satunya kasih yang aku tahu rasanya yaitu pelukan hangat bunda, kalau ada kasih-kasih yang lain itu hanya ada dalam kisah yang kukarang. Ya…aku memang hanya bisa ngarang tentang rasa itu.
seorang lelaki memeluk tubuh zora yang kedinginan tersapu hujan, ada kehangatan yang mengaliri setiap sel-sel tubuhnya. Zora terlena pada suasana yang menyelimutinya saat ini, ia lupa pada semua kenyataan bahwa di hatinya telah ada lelaki lain.
Zora tersedu seketika menyadari dirinya telah melakukan kesalahan, ia telah berkhianat, bukan pada siapa-siapa tetapi ia mengkhianati hatinya sendiri. Dengan sekali sentakan ia melepaskan pelukan itu dan kemudian berlari di bawah hujan yang tiada usai jua.
“Zora”…kisah cintamu akan kubawa ke mana lagi ? Sepertinya hujan telah menghapus sebagian kalimat yang telah kurancang di kepalaku. Dingin dan rasa lapar menggerogoti tubuhku yang tak pernah lagi ku urus. Sepertinya saat ini aku adalah wanita yang paling tak menarik di dunia, karena dari sudut mana pun memang tak ada yang menarik. Wajah yang kuwarisi dari bunda memang salah kalau dibilang jelek, tapi tulang pipiku kini mulai menonjol mengikuti penyusutan tubuhku. Namun dari semua itu aku tak peduli, untuk apa aku menarik ? Untuk siapa?
Oh hujan, sampai kapan kau terus mengungkungku dalam keterbatasan ini. Aku butuh keluar, keluar mencari sinar yang dapat menerangkan otakku yang beku oleh dinginmu. Aku butuh lebih banyak kalimat untuk “Zora” dengan kisah cinta imajinasiku.
kamar berdinding merah muda dan dihiasi lukisan bunga mawar putih, di dalamnya ada sesosok perempuan muda berbaring di atas kesedihan yang dalam.
Zora masih tak mengerti…..mengapa hatinya tak membangunkan dari lena yang menjerat tangisnya. Zora kehilangan selera makan selama beberapa hari belakangan, waktunya terbuang dengan menyalahkan dirinya.
“Zora………sadarlah tangismu kan menjadi sia-sia jika tak ada yang kau lakukan tuk melunasi khilafmu.” Suara itu begitu nyata di telinganya, meniupkan semangat tuk bangkit dari sesal. “Ya…aku tak mau menjadi sia-sia!” Zora menegaskan hatinya.
Hujan sudah terlalu lama menahan kesabaranku, dan bosan telah sampai pada puncak. Aku berlari menerobos hujaman titik-titik air di tubuhku. Dinginnya meresap hingga ke tulang, aku terus berlari ke mana pun langkahku nanti berhenti.
“Aaaaaaaaa……….” Kulepaskan sesuatu yang selama ini menghimpit dadaku, tak peduli mata-mata yang memandang heran padaku. Ada sedikit nyaman terselip dan tersungging di bibirku kini.
Ternyata ada sisi positif yang kudapat dari memasrahkan diri didera ribuan tetesan langit yang mencair. Setidaknya kini aku sedikit merasa lebih dekat dengan tuhan yang kuanggap telah menjauhiku sejak satu-satunya yang kumiliki “Bundaku” direngutnya.
Tak terasa ada hangat yang leleh di wajahku, aku ingin menangis sepuasnya. Di sini aku bebas menumpahkan air mata, tak ada yang tahu. Hujan menyamarkan linangannya. Sejak dulu berjuta tangis telah tertimbun di hati. Aku memang terlahir untuk menahan tangis, karena aku tak ingin lelaki yang menelantarkan aku dan bunda bahagia melihat linangan airmata yang mengalir untuknya.
Lelaki itu, telah menelan keinginanku tuk bergaul dengan kaumnya. Bagiku tatapan mata mereka terhadap wanita selalu sama, “Wanita adalah objek lemah yang tercipta dari tulang rusuk lelaki”. Ahh…ungkapan yang membuat lelaki merasa pantas mendapatkan rasa terima kasih dari wanita. Cuihh…maaf saja aku tak kan berterima kasih pada lelaki yang telah menyemaiku di rahim bunda kemudian seenaknya menyandangkan label “Anak haram” di leherku.
Apakah salah jika aku membencinya? Toh kebencian ini terlahir dari tatapan jijiknya ketika bunda memohon di kakinya. Memintanya mengakui aku sebagai darah dagingnya. Oh Tuhan… biarlah aku berdosa menanam kebencian ini, karena hanya ini yang membuatku kuat menjalani garis panjang yang menuntunku pada ujung hidupku nanti.
*************

Seorang lelaki muda sedang duduk di teras kontrakanku ketika aku melangkah pulang. Dia tak asing bagiku, beberapa kali ia pernah datang menemuiku dan tetap saja datang walau setiap kali itu pula aku menampiknya.
“Lara……” sapanya.
“Jangan pernah panggil namaku lagi, karena itu akan membuatku semakin membenci.” Kepahitan hidup semakin jelas jika ingat namaku LARA.
“Kumohon kali ini jangan menghelaku pergi”
Aku bergeming, dengan seluruh tubuh basah kuyup ditambah dingin yang membuat wujudku bergetar. Aku masih mencari kata yang tepat untuk membujuknya pergi, namun aku tak sanggup lagi menopang tubuhku yang kemudian tersungkur jatuh di hadapan lelaki muda itu. Aku, tubuhku melemah, namun kesadaranku belum sepenuhnya menghilang ketika aku merasa ada lengan hangat yang mengangkat tubuhku yang kemudian melayang entah ke mana.
********

Perlahan mataku membuka kelopaknya, kesadaranku mulai pulih. Ughh…seluruh tubuhku terserang rasa nyeri yang begitu hebat, kepalaku pun seperti terpukul gada besar. Aku terbaring di atas tempat tidur dalam kamarku dan terbungkus selimut biru tua kesayanganku, padahal seingatku terakhir kali aku tak di sini.
Kertas-kertas yang berantakan di atas meja kini tersusun rapi bersama beberapa kelopak mawar putih menghiasi. Ada yang aneh dengan suasana kamarku, jendela di sisi kanan yang jarang aku buka kini dengan jelas menggambarkan titik-titik hujan di luar sana.
Aku mencium bau yang sedap dari arah dapur, siapa yang berada di sana? Apakah aku masih terpasung di alam mimpi?.
“Sudah bangun…?” suara itu menjawab tanyaku.
“Pram, ngapain kamu disini?”
“Makan dulu, ngobrolnya nanti setelah tubuh kamu kuat.”
Suapannya membungkam mulutku yang dipenuhi berjuta tanya. Dia masih seperti dulu, mencoba membujukku dengan segala kebaikannya. Prama, lelaki muda yang tak pernah jera setiap kali kuusir di depan pintuku. Dia lelaki yang tak pernah menyerah menawarkan kehidupan manis padaku, namun selalu kutolak.
“Pram, kenapa? Kenapa kamu tak pernah bosan datang untuk kuusir?” tanyaku dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
“Aku tahu bukan aku yang kamu usir, masa lalu dan kebencianmulah yang sesungguhnya tak kamu inginkan hadir.”
“Mengapa kamu seyakin itu?”
“Karena aku tak punya salah padamu.” jawabnya menohokku, dia benar tentang itu. Dia memang tak punya salah padaku, “Lelaki” itu yang salah. “Lelaki” yang memberi hak berbeda antara aku dan Prama. Meski darah yang mengalir di tubuh kami berasal dari satu cawan namun akhirnya kami berada di tempat yang berbeda. Prama diakui keberadaannya, sedangkan aku tidak dipandang sama sekali.
“Walau bagaimana pun kamu mengingkarinya, tetap saja kamu tak bisa memutuskan ikatan ini. Lara, kamu tetap adikku sampai kapan pun!” Prama semakin membuatku tak bisa membantah. Setiap kata yang keluar darinya memang nyata. Aku kian tersudut akan penolakanku selama ini.
“Tapi Pram…, aku tak pernah diinginkan, itulah batas antara kita!”
“Jika tak menginginkanmu mengapa aku harus berada di sini?”
Aku terdiam, menarik nafas yang dalam. Mencoba menekan buncah dalam dada yang ingin tumpah di mataku.
“Lara, tolong jangan mengikutkan aku dalam kebencianmu!” Prama menggenggam kedua tanganku dengan tatapan yang baru kali ini aku dapati selama hidupku. Aku merasakan ada ketulusan dari dalam sana, memanggilku.
“Lara, ijinkan aku menyayangimu, ijinkan aku memberikan kasih sayang yang menjadi hakmu sejak kita terlahir kedunia.”
Aku tak kuasa menahan lagi derasnya airmata yang menyeruak keluar dari mataku. Entah kekuatan dari mana yang membawaku memeluk lelaki muda di hadapanku itu. Lelaki muda yang tak pernah menyerah datang menawarkan kasih sayangnya pada adik yang tak diakui ayahnya.
Sepertinya kebekuan yang ada di antara keduanya mulai pudar, seiring hilangnya berkas airmata yang tersapu jemari kasih sayang.
air mata telah usai, kini senyum yang terkembang. Dalam keheningan malam zora berharap mimpi indah menghiasi tidurnya. Zora lelah menyesali waktu yang telah lewat, satu kesadaran baginya yaitu kesalahan itu adalah kenangan terindah. Sesungguhnya ingin ia merasakan hangat seperti saat itu lagi kalau boleh ia berharap.
Zora mencari celah di hatinya yang tersengat oleh kehangatan lelaki yang tak diingat wajahnya. Hanya rasa hangat yang terus mengusiknya, bahkan dalam mimpi sekali pun ia ingin merasakannya.
“Zora” tunggu saja aku akan membuatmu menjadi wanita paling bahagia, aku janji. Sejak Prama masuki kehidupanku, sepertinya aku mendapat nyawa baru. Dia adalah satu-satunya lelaki yang mendapat pengecualian dari hatiku. Kegigihannya membasuh kebencian dalam diriku membuat aku luluh.
Kini, duniaku tak terbatas pada kamar yang selama ini menjadi istana kesendirianku. Karena telah banyak waktu berpetualang yang Prama ukir di kenangku. Prama memberiku ruang-ruang baru untuk bernafas. Dia sungguh memanjakan aku. Sesuatu yang baru kali ini terjadi di garis hidupku.
“Bunda, Lara kini dapat tersenyum seperti bunda, Kata Prama senyum Lara sangat manis.” bisikku. Aku yakin itu pasti semanis senyuman bunda yang masih melekat di benakku. Aku jadi ingin tahu satu hal, apakah seyuman itu pula yang membuat lelaki itu hadir di sisi bunda. Jika itu benar semoga senyuman itu menghantui setiap waktu yang dilaluinya tanpa kami.
………membuat paras ayu itu memerah, tak menyangka jika lelaki pujaannya melamar dirinya dengan cara yang sungguh mengejutkan jiwanya.
Zora tersenyum malu mengingat masa itu, walaupun akhirnya ia memutuskan tuk menolak rentangan kasih yang tebar oleh lelaki pujaannya itu karena alasan yang dia sendiri tak mengerti.
Zora sudah cukup bahagia dengan apa yang dimilikinya saat ini, seorang lelaki biasa yang jauh dari kesempurnaan namun selalu dapat membuatnya nyaman setiap saat.
Zora sadar cinta adalah sesuatu yang sampai kapan pun tak dapat di ejawantahkannya dalam wujud, kata dan waktu.
Zora sadar ia tak mampu meraba kedalaman hatinya apakah d isana memang ada cinta, hanya satu yang ia sadari adalah kehidupan nyata yang kini ia jalani bersama lelaki yang setia memberinya rasa nyaman dan membuatnya merasa selalu diinginkan.
End

Akhirnya usai juga, akhirnya aku menemukan kalimat tempat aku melabuhkan kata tamat pada cerita cinta yang menguras kepala dan jiwaku. Zora telah temukan bahagianya, akankah aku juga…? Aku seperti merasa kehabisan energi menyelesaikan novelku kali ini. Namun aku sangat-sangat puas dapat menumpahkan segalanya dalam kalimat-kalimat itu.
Aku dan Zora adalah dua jiwa yang berbeda, tapi Zora adalah wujud dari sisi hidup yang tak kumiliki. Aku hanya bermimpi, mimpi menjadi sebuah jwa yang lain. Mungkinkah hatiku yang berbuah kebencian mampu mereguk manisnya cinta seperti Zora?
Kusandarkan kepala pada empuk pembaringanku, kupejam mata yang letih ini tapi aku tak berniat tuk tidur, karena aku belum ingin tidur, karena ini belum saatnya tidur.
Rangkaian waktu kembali terputar sangat jelas di mataku, waktu yang telah membawaku hingga ke titik ini. Mulai dari hangatnya dekapan bundaku tersayang hingga kerasnya tamparan hidup yang kujalani dengan kesendirian.
Apa kabarmu kini, Bundaku tersayang? Perempuan yang selalu tersenyum walau dengan mata sembab dan pipi membiru. Namun tetap saja ia begitu sangat cantik di mataku. Bunda, semoga kehidupanmu kini lebih indah tanpa lelaki maniak yang menjerat cintamu. Dan kau, lelaki yang seumur hidupnya tak sudi kupanggil ayah semoga siksa neraka nanti membayar seluruh airmata bundaku yang telah kau kuras.
Hampir saja aku terlelap, padahal aku belum ingin tidur, karena ini belum saatnya tidur. Prama sebentar lagi datang, aku menantikan kehadirannya. Kemarin dia janji mengajak aku merayakan selesainya novel baruku. Mungkin ini kesempatanku menguraikan simpul-simpul masalah yang membelitku.
Kakiku tak jua berhenti nenghentak lantai, ketegangan membuatku tak mampu menguasai gerak motorikku. Ahh, mengapa kali ini Prama begitu lamban.
“Pram, kenapa telat? Sedari tadi aku dilanda takut, aku takut keberanian ini hilang seiring bergantinya waktu” hatiku tak henti berujar sendiri. Huff…haruskah aku mengungkapnya, aku takut. Aku takut kehilangan ketika mulutku mengumbar rasa cinta yang sesungguhnya dan sebenar-benarnya terlarang untukku.
“Maaf…yah aku tadi banyak kerjaan, gimana acaranya sekarang atau diganti makan malam saja?” Prama membelai kepalaku, belaian yang lembutnya terasa menyentil hatiku.
“Ya udah biar malam saja, lagian sekarang juga sudah bukan waktu makan siang lagi.” jawabku segera.
Prama telah beranjak meninggalkan aku yang masih sibuk sendiri dengan isi kepalaku, ia membaringkan tubuhnya ke sofa di ruang tengah. Sepertinya ia sangat letih, hatiku menggoda, mengajakku ke sana membelai rambutnya, mengecup keningnya dan merasakan aroma tubuhnya. Tidak…! aku tak boleh ke sana, biarlah aku memandang wajahnya dari sini saja, dari sudut hatiku yang perih.
Aku sepertinya hampir menjadi gila.
**********

Rasa kantuk yang menyerangku tak mampu mengalahkan keinginanku mengunjungi makam bunda yang entah berapa lamanya terbengkalai dari kunjunganku, “Maafkan aku bunda” bukannya aku lupa namun hanya sedikit terlena dengan kehidupanku yang pahit.
Kutabur kelopak-kelopak mawar putih yang sangat bunda sukai di atas pusaranya. Semoga harumnya sampai di atas sana. “Bunda…aku merindukan senyuman dan pelukan hangat tubuh kurusmu.”
Bunda, aku ingin membuat suatu pengakuan. Prama, anak dari lelaki yang bunda kasihi tapi mencampakkan kita, kini dia hadir dalam kehidupanku. Dia menawarkan sejuta bahagia, dia menginginkan aku sebagai adik yang dikasihinya. Namun pengakuan terbesarku adalah “Aku mencintainya…aku menginginkannya dalam bentuk lain, aku menginginkannya seperti bunda menginginkan ayahnya”.
Bunda…aku tahu ini salah, bagaimana aku mengakhirinya. Aku tak pernah menyangka sisi kewanitaanku hadir di antara aku dan Prama. Dia satu-satunya lelaki yang memasuki hidupku setelah lelaki bunda itu dulu membuang kita.
“Bunda…maafkan aku. Aku terperosok kedalam kubangan yang lebih busuk dari yang pernah kau masuki. Aku tak mampu menjaga hatiku yang rapuh, maafkan aku bunda. Maaf……..”
Bunda… aku sudah sangat letih, rasa kantukku tak mampu lagi kutahan. Bunda… tunggu aku! Sebentar lagi aku kan tertidur. Karena waktunya sudah hampir tiba, saatnya aku tidur.
***************

Kediamam Prama Adhytia 07:15 wita
“Seorang gadis belia ditemukan bersimbah darah Jumat dini hari di atas sebuah pusara , gadis yang identitasnya diketahui bernama Lara Sekar Ayu diduga mencoba mengakhiri hidupnya sendiri dengan motif yang belum jelas.”
Prama tersentak mendengar ulasan berita pagi yang baru saja ditontonnya, ia segera berlari tanpa menghiraukan apapun. Yang ada di kepalanya hanya Lara. Lara, mengapa Lara ? mengapa ?

Koridor Rumah Sakit 08:11wita
Wajah kusut dan kebingungan. Prama berlari mencari sosok yang sangat di kasihinya. Satu-satunya orang terkasih yang dimilikinya.
“Sus, Lara…gadis yang mencoba bunuh diri ?” ucapnya tergesa.
“Ruang Intensive Care…di sebelah sana”
Prama kembali berlari, tingkahnya hampir seperti orang gila. Airmatanya tak terbendung ketika melihat sesosok tubuh yang terbaring, selang infus dan alat bantu pernafasan menancap di tubuh diam itu. “Lara bertahanlah…aku di sini, jangan tinggalkan aku dalam kesendirian” bisiknya. Prama bersimpuh memohon suatu keajaiban datang membangunkan Lara.
*************

“Assalamualakum…selamat pagi, Lara…”
Prama menyapa dari balik kaca, di hari ke empat Lara bergeming. Setitik asa Prama semai dalam hatinya, semoga Lara kembali, menemukan jalannya pulang ke sini, kepelukannya. Kali ini Prama tampak begitu rapi, bersih. Tak tampak lagi kekusutan yang ada beberapa hari lalu. Kini ia lebih tenang, terlebih ketika membaca ayat-ayat suci, mengirim doa untuk Lara seperti saat ini. Sampai hari ke empat Lara dinyatakan koma, Prama tak pernah beranjak kecuali ketika Shalat tiba. Karena saat itu pasti ia kan pergi bersujud menghadap-Nya.
“Pak Prama…nona Lara sudah siuman…”
Seorang suster menemuinya di Musholla Rumah sakit. Alhamdulillah…terima kasih, Tuhan. Langkahnya sesegera mungkin menuju kamar Lara. Tak terkira bahagianya ketika mendengar berita itu.
“Lara……”
“Kak Prama…maaf…”
“Jangan lagi Lara…”
Tiada terbendung lagi haru di antara dua insan itu. Prama mengengam tangan Adiknya terkasih. Tak ada kata lagi yang dapat menggambarkan perasaanya saat ini.
“Bunda… maafkan Lara. Ternyata Lara belum ingin tidur,….”

@sekolah menulis FLP Sulsel 2006….