Serpihan Hati....

Apa yang kubisa, hanyalah mencuri jejak-jejak kenangan...
Apa yang hatiku miliki adalah serpihan-serpihan dari masa lalu...

Sabtu, 28 Mei 2011

Aku suka amarahmu, Matahari....

130663821256074263

Geram Matahari melihatku...
Membiarkan angin membelai wajahku...
Ahhh peduli amat, yang jelas aku suka...

Aku perempuan bebas,...
Bukankah kita sudah sepakat tentang itu...
Jadi jangan merajuk dengan cemburumu...

Marahlah...
Bakar aku dengan geramanmu...
Aku suka...
Aku suka cemburumu...
Aku suka melihat cinta dalam amarahmu.

Aku Suka.....

@pic.from google

Jumat, 27 Mei 2011

Pagi ini, genap pagi keseribu….


13065421982035574103Pagi ini, genap pagi keseribu…
Menghitung kenangan dan mencoba meniti jejaknya satu-satu.
Berharap menemukan titik awal aku mengenalmu, Sayang.
Ada bias-bias cahaya menelikung, menuntunku…
Melewati celah waktu yang sengaja kau hapus.
Membawa jasad ringkihku yang hampir habis di gerogori kerinduan pada cahaya matamu.
Cahaya yang dulu mempesonaku, yang dulu serupa magic yang buatku serasa hidup lagi.


Pagi ini, genap pagi keseribu…
Ketika sayapmu tumbuh dan tak lagi bisa tinggal disisiku…
Ketika cahaya bukan sekedar ada di matamu…
Ketika aku tahu kau bukan lagi Lelakiku…
@picture from google…

Kamis, 26 Mei 2011

Narasi Cinta Matahari dan Bintang

Kisah pendek dari dua individu, dua karakter, dua latar belakang masa lalu yang pahit, dua impian tentang masa depan…………

Kepada Matahari……
Matahari…
Dimatamu ada sebab
Dan taklukku adalah akibat
Seperti es krim lumer di bibirmu
Seperti bayi pasrah di pelukmu
Di matamu ada candu
Tanpa sinarnya adalah sakauku
Resah mendesah sampai lelah
Tersungkur jatuh bersimbah keluh
Di matamu ada semesta
Memandangnya adalah takjubku
Di dalam diam aku memuja
Beriring waktu mengawal rindu
Matahari. Aku menemukanmu di tengah kebekuan hatiku. Hati yang tersakiti oleh masa lalu yang kelam. Bertahun-tahun airmata mengkristalkan kepahitan dalam sukma. Memupuk keinginan untuk tidak lagi mencinta. Sebab mencinta hanya menyisakan memar-memar mengungu.
Hangatnya pesona yang terpancar dari matamu, tak mampu kutolak. Menembus dinding-dinding beku. Mencairkan selapis demi selapis sekat batu yang menahun terbangun oleh tangis.
Aku tak tahu dari mana datangnya, tapi aku tak bisa menipu diri bahwa kau begitu mudah merobohkan pertahananku. Aku yang telah memvonis hatiku untuk tidak lagi terjatuh pada zat yang namanya cinta. Akhirnya mengalah dan terbius oleh hangatmu.
Hatiku yang dingin menjadi basah, menghangat. Dalam pelukan perhatian yang datang bertubi-tubi tanpa mampu aku menolaknya.
Aku terjatuh lagi dalam cintamu…. Matahariku…
*********
Kepada Bintang…..
Bintang……
Di senyummu ada damai
Tersihirku dalam pesona
Waktu yang beredar seakan berhenti
Demi sebuah damai di bibirmu
Di senyummu ada kasih
Tertawan aku dalam pikat
Semesta pun rela tergadai
Demi seladang kasih dari hatimu
Di senyummu ada cinta
Terpenjara aku dalam langkah
Tiada yang semegah dirimu
Tak terganti walau dunia menenggelamkanku
Bintang, kau tak sengaja aku lihat dalam kesesatanku di malam gelap. Cahayamu yang tenang mendamaikan hatiku yang penuh kemarahan terhadap masa lalu.
Aku berani bermimpi lagi ketika cahayamu mengecup tidurku. Segala keangkuhan dan pertahanan yang aku kumpulkan setelah kegagalanku menjadi lunak oleh senyumanmu.
Seketika aku menjadi melankolis di tengah kekerasan hati yang terbentuk oleh sakitnya penghianatan masa lalu. Kau begitu lembut menyentuh hatiku.
Aku tertantang untuk menjadi sosok yang bisa kau sandari saat lelah melewati hari, dan aku pun ingin melabuhkan lelahku dalam pelukan malammu.
Kau begitu nyata menawarkan rasa nyaman ketika aku letih berlari memutari waktu. Hanya dengan sejenak menikmati senyummu aku sudah terobati dari keletihan itu.
Bintang, aku ingin memiliki senyummanmu untuk kubawa disetiap detik ingatanku. Menikahlah denganku.
*****************
Penajam, 19 Mei 2011……… Lagi dan lagi mencuri sedikit dari kenangan…


Rabu, 25 Mei 2011

Lara Belum Ingin Tidur….(Cerpen)

Hujan masih mengguyur, seakan belum puas menumpahkan isi langit. Setelah seharian kemarin kemudian hari ini aku masih setia meringkuk dalam balutan selimut tua warisan bunda. Mencari kehangatan yang telah lama pergi bersama perempuan cantik dengan senyuman manis, yang memberiku kesempatan hadir di dunia. Bunda, pergi membawa pelukan hangatnya.


“Hujan, mengapa kau mengajak rasa malas menggodaku? Deadline mengejarku beberapa hari ini, tahukah kau itu?”
Aku masih belum tahu alur apa yang akan mengikat kisahku kali ini. Dengan sedikit tabungan kata kucoba kembali merangkai kalimat, semoga saja menetaskan sesuatu yang dapat memuaskan para pembacaku nanti.


Zora… di bawah naungan kerlip bintang menghirup udara dengan segenap asa, semoga saat ini di belahan dunia yang lain ada sesorang yang sama sepertinya sedang merasakan kerinduan. Kerinduan yang sama pada dirinya.
Helai-helai daun akasia jatuh berguguran, Zora memungutinya satu per satu. Setiap helai dihargainya dengan satu rindu jika ada seratus helai maka seratus rindu yang kini ada di hadapannya. Zora menuangkan kerinduannya pada helai-helai yang kemudian diterbangkan angin malam. Zora berharap pesan rindunya sampai pada hati yang di tujunya.


Ahh…..andai saja aku juga dapat menjadi seperti “Zora” dapat merasakan kerinduan pada kekasih hatinya, namun kenyataannya aku terlalu takut tuk menjadi “Zora”.
Pengalaman dan jalan hidup pahit yang pernah mewarnai hampir seluruh waktuku membuat aku benci berkekasih. Karena bagiku hanya berujung pada kepahitan dan derita. Masih terbayang rona biru yang tak pernah lepas dari wajah bunda, itu adalah buah kasih yang ditoreh oleh seseorang yang diakui mengasihinya.
Bahkan sampai saat ini aku tak pernah habis fikir, bundaku yang hingga akhir hayatnya tetap menganggap lelaki bejat itu adalah kekasihnya. Bagiku jika memang benar cinta itu indah mengapa harus ada kekerasan, mengapa harus ada airmata yang tumpah.
Dalam hidupku, satu-satunya kasih yang aku tahu rasanya yaitu pelukan hangat bunda, kalau ada kasih-kasih yang lain itu hanya ada dalam kisah yang kukarang. Ya…aku memang hanya bisa ngarang tentang rasa itu.


seorang lelaki memeluk tubuh zora yang kedinginan tersapu hujan, ada kehangatan yang mengaliri setiap sel-sel tubuhnya. Zora terlena pada suasana yang menyelimutinya saat ini, ia lupa pada semua kenyataan bahwa di hatinya telah ada lelaki lain.
Zora tersedu seketika menyadari dirinya telah melakukan kesalahan, ia telah berkhianat, bukan pada siapa-siapa tetapi ia mengkhianati hatinya sendiri. Dengan sekali sentakan ia melepaskan pelukan itu dan kemudian berlari di bawah hujan yang tiada usai jua.


“Zora”…kisah cintamu akan kubawa ke mana lagi ? Sepertinya hujan telah menghapus sebagian kalimat yang telah kurancang di kepalaku. Dingin dan rasa lapar menggerogoti tubuhku yang tak pernah lagi ku urus. Sepertinya saat ini aku adalah wanita yang paling tak menarik di dunia, karena dari sudut mana pun memang tak ada yang menarik. Wajah yang kuwarisi dari bunda memang salah kalau dibilang jelek, tapi tulang pipiku kini mulai menonjol mengikuti penyusutan tubuhku. Namun dari semua itu aku tak peduli, untuk apa aku menarik ? Untuk siapa?
Oh hujan, sampai kapan kau terus mengungkungku dalam keterbatasan ini. Aku butuh keluar, keluar mencari sinar yang dapat menerangkan otakku yang beku oleh dinginmu. Aku butuh lebih banyak kalimat untuk “Zora” dengan kisah cinta imajinasiku.
kamar berdinding merah muda dan dihiasi lukisan bunga mawar putih, di dalamnya ada sesosok perempuan muda berbaring di atas kesedihan yang dalam.


Zora masih tak mengerti…..mengapa hatinya tak membangunkan dari lena yang menjerat tangisnya. Zora kehilangan selera makan selama beberapa hari belakangan, waktunya terbuang dengan menyalahkan dirinya.
“Zora………sadarlah tangismu kan menjadi sia-sia jika tak ada yang kau lakukan tuk melunasi khilafmu.” Suara itu begitu nyata di telinganya, meniupkan semangat tuk bangkit dari sesal. “Ya…aku tak mau menjadi sia-sia!” Zora menegaskan hatinya.


Hujan sudah terlalu lama menahan kesabaranku, dan bosan telah sampai pada puncak. Aku berlari menerobos hujaman titik-titik air di tubuhku. Dinginnya meresap hingga ke tulang, aku terus berlari ke mana pun langkahku nanti berhenti.
“Aaaaaaaaa……….” Kulepaskan sesuatu yang selama ini menghimpit dadaku, tak peduli mata-mata yang memandang heran padaku. Ada sedikit nyaman terselip dan tersungging di bibirku kini.
Ternyata ada sisi positif yang kudapat dari memasrahkan diri didera ribuan tetesan langit yang mencair. Setidaknya kini aku sedikit merasa lebih dekat dengan tuhan yang kuanggap telah menjauhiku sejak satu-satunya yang kumiliki “Bundaku” direngutnya.
Tak terasa ada hangat yang leleh di wajahku, aku ingin menangis sepuasnya. Di sini aku bebas menumpahkan air mata, tak ada yang tahu. Hujan menyamarkan linangannya. Sejak dulu berjuta tangis telah tertimbun di hati. Aku memang terlahir untuk menahan tangis, karena aku tak ingin lelaki yang menelantarkan aku dan bunda bahagia melihat linangan airmata yang mengalir untuknya.
Lelaki itu, telah menelan keinginanku tuk bergaul dengan kaumnya. Bagiku tatapan mata mereka terhadap wanita selalu sama, “Wanita adalah objek lemah yang tercipta dari tulang rusuk lelaki”. Ahh…ungkapan yang membuat lelaki merasa pantas mendapatkan rasa terima kasih dari wanita. Cuihh…maaf saja aku tak kan berterima kasih pada lelaki yang telah menyemaiku di rahim bunda kemudian seenaknya menyandangkan label “Anak haram” di leherku.
Apakah salah jika aku membencinya? Toh kebencian ini terlahir dari tatapan jijiknya ketika bunda memohon di kakinya. Memintanya mengakui aku sebagai darah dagingnya. Oh Tuhan… biarlah aku berdosa menanam kebencian ini, karena hanya ini yang membuatku kuat menjalani garis panjang yang menuntunku pada ujung hidupku nanti.
*************


Seorang lelaki muda sedang duduk di teras kontrakanku ketika aku melangkah pulang. Dia tak asing bagiku, beberapa kali ia pernah datang menemuiku dan tetap saja datang walau setiap kali itu pula aku menampiknya.
“Lara……” sapanya.
“Jangan pernah panggil namaku lagi, karena itu akan membuatku semakin membenci.” Kepahitan hidup semakin jelas jika ingat namaku LARA.
“Kumohon kali ini jangan menghelaku pergi”
Aku bergeming, dengan seluruh tubuh basah kuyup ditambah dingin yang membuat wujudku bergetar. Aku masih mencari kata yang tepat untuk membujuknya pergi, namun aku tak sanggup lagi menopang tubuhku yang kemudian tersungkur jatuh di hadapan lelaki muda itu. Aku, tubuhku melemah, namun kesadaranku belum sepenuhnya menghilang ketika aku merasa ada lengan hangat yang mengangkat tubuhku yang kemudian melayang entah ke mana.
********


Perlahan mataku membuka kelopaknya, kesadaranku mulai pulih. Ughh…seluruh tubuhku terserang rasa nyeri yang begitu hebat, kepalaku pun seperti terpukul gada besar. Aku terbaring di atas tempat tidur dalam kamarku dan terbungkus selimut biru tua kesayanganku, padahal seingatku terakhir kali aku tak di sini.
Kertas-kertas yang berantakan di atas meja kini tersusun rapi bersama beberapa kelopak mawar putih menghiasi. Ada yang aneh dengan suasana kamarku, jendela di sisi kanan yang jarang aku buka kini dengan jelas menggambarkan titik-titik hujan di luar sana.
Aku mencium bau yang sedap dari arah dapur, siapa yang berada di sana? Apakah aku masih terpasung di alam mimpi?.
“Sudah bangun…?” suara itu menjawab tanyaku.
“Pram, ngapain kamu disini?”
“Makan dulu, ngobrolnya nanti setelah tubuh kamu kuat.”
Suapannya membungkam mulutku yang dipenuhi berjuta tanya. Dia masih seperti dulu, mencoba membujukku dengan segala kebaikannya. Prama, lelaki muda yang tak pernah jera setiap kali kuusir di depan pintuku. Dia lelaki yang tak pernah menyerah menawarkan kehidupan manis padaku, namun selalu kutolak.
“Pram, kenapa? Kenapa kamu tak pernah bosan datang untuk kuusir?” tanyaku dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
“Aku tahu bukan aku yang kamu usir, masa lalu dan kebencianmulah yang sesungguhnya tak kamu inginkan hadir.”
“Mengapa kamu seyakin itu?”
“Karena aku tak punya salah padamu.” jawabnya menohokku, dia benar tentang itu. Dia memang tak punya salah padaku, “Lelaki” itu yang salah. “Lelaki” yang memberi hak berbeda antara aku dan Prama. Meski darah yang mengalir di tubuh kami berasal dari satu cawan namun akhirnya kami berada di tempat yang berbeda. Prama diakui keberadaannya, sedangkan aku tidak dipandang sama sekali.
“Walau bagaimana pun kamu mengingkarinya, tetap saja kamu tak bisa memutuskan ikatan ini. Lara, kamu tetap adikku sampai kapan pun!” Prama semakin membuatku tak bisa membantah. Setiap kata yang keluar darinya memang nyata. Aku kian tersudut akan penolakanku selama ini.
“Tapi Pram…, aku tak pernah diinginkan, itulah batas antara kita!”
“Jika tak menginginkanmu mengapa aku harus berada di sini?”
Aku terdiam, menarik nafas yang dalam. Mencoba menekan buncah dalam dada yang ingin tumpah di mataku.
“Lara, tolong jangan mengikutkan aku dalam kebencianmu!” Prama menggenggam kedua tanganku dengan tatapan yang baru kali ini aku dapati selama hidupku. Aku merasakan ada ketulusan dari dalam sana, memanggilku.
“Lara, ijinkan aku menyayangimu, ijinkan aku memberikan kasih sayang yang menjadi hakmu sejak kita terlahir kedunia.”
Aku tak kuasa menahan lagi derasnya airmata yang menyeruak keluar dari mataku. Entah kekuatan dari mana yang membawaku memeluk lelaki muda di hadapanku itu. Lelaki muda yang tak pernah menyerah datang menawarkan kasih sayangnya pada adik yang tak diakui ayahnya.
Sepertinya kebekuan yang ada di antara keduanya mulai pudar, seiring hilangnya berkas airmata yang tersapu jemari kasih sayang.


air mata telah usai, kini senyum yang terkembang. Dalam keheningan malam zora berharap mimpi indah menghiasi tidurnya. Zora lelah menyesali waktu yang telah lewat, satu kesadaran baginya yaitu kesalahan itu adalah kenangan terindah. Sesungguhnya ingin ia merasakan hangat seperti saat itu lagi kalau boleh ia berharap.
Zora mencari celah di hatinya yang tersengat oleh kehangatan lelaki yang tak diingat wajahnya. Hanya rasa hangat yang terus mengusiknya, bahkan dalam mimpi sekali pun ia ingin merasakannya.


“Zora” tunggu saja aku akan membuatmu menjadi wanita paling bahagia, aku janji. Sejak Prama masuki kehidupanku, sepertinya aku mendapat nyawa baru. Dia adalah satu-satunya lelaki yang mendapat pengecualian dari hatiku. Kegigihannya membasuh kebencian dalam diriku membuat aku luluh.
Kini, duniaku tak terbatas pada kamar yang selama ini menjadi istana kesendirianku. Karena telah banyak waktu berpetualang yang Prama ukir di kenangku. Prama memberiku ruang-ruang baru untuk bernafas. Dia sungguh memanjakan aku. Sesuatu yang baru kali ini terjadi di garis hidupku.
“Bunda, Lara kini dapat tersenyum seperti bunda, Kata Prama senyum Lara sangat manis.” bisikku. Aku yakin itu pasti semanis senyuman bunda yang masih melekat di benakku. Aku jadi ingin tahu satu hal, apakah seyuman itu pula yang membuat lelaki itu hadir di sisi bunda. Jika itu benar semoga senyuman itu menghantui setiap waktu yang dilaluinya tanpa kami.


………membuat paras ayu itu memerah, tak menyangka jika lelaki pujaannya melamar dirinya dengan cara yang sungguh mengejutkan jiwanya.
Zora tersenyum malu mengingat masa itu, walaupun akhirnya ia memutuskan tuk menolak rentangan kasih yang tebar oleh lelaki pujaannya itu karena alasan yang dia sendiri tak mengerti.
Zora sudah cukup bahagia dengan apa yang dimilikinya saat ini, seorang lelaki biasa yang jauh dari kesempurnaan namun selalu dapat membuatnya nyaman setiap saat.
Zora sadar cinta adalah sesuatu yang sampai kapan pun tak dapat di ejawantahkannya dalam wujud, kata dan waktu.
Zora sadar ia tak mampu meraba kedalaman hatinya apakah d isana memang ada cinta, hanya satu yang ia sadari adalah kehidupan nyata yang kini ia jalani bersama lelaki yang setia memberinya rasa nyaman dan membuatnya merasa selalu diinginkan.
End


Akhirnya usai juga, akhirnya aku menemukan kalimat tempat aku melabuhkan kata tamat pada cerita cinta yang menguras kepala dan jiwaku. Zora telah temukan bahagianya, akankah aku juga…? Aku seperti merasa kehabisan energi menyelesaikan novelku kali ini. Namun aku sangat-sangat puas dapat menumpahkan segalanya dalam kalimat-kalimat itu.
Aku dan Zora adalah dua jiwa yang berbeda, tapi Zora adalah wujud dari sisi hidup yang tak kumiliki. Aku hanya bermimpi, mimpi menjadi sebuah jwa yang lain. Mungkinkah hatiku yang berbuah kebencian mampu mereguk manisnya cinta seperti Zora?
Kusandarkan kepala pada empuk pembaringanku, kupejam mata yang letih ini tapi aku tak berniat tuk tidur, karena aku belum ingin tidur, karena ini belum saatnya tidur.
Rangkaian waktu kembali terputar sangat jelas di mataku, waktu yang telah membawaku hingga ke titik ini. Mulai dari hangatnya dekapan bundaku tersayang hingga kerasnya tamparan hidup yang kujalani dengan kesendirian.
Apa kabarmu kini, Bundaku tersayang? Perempuan yang selalu tersenyum walau dengan mata sembab dan pipi membiru. Namun tetap saja ia begitu sangat cantik di mataku. Bunda, semoga kehidupanmu kini lebih indah tanpa lelaki maniak yang menjerat cintamu. Dan kau, lelaki yang seumur hidupnya tak sudi kupanggil ayah semoga siksa neraka nanti membayar seluruh airmata bundaku yang telah kau kuras.
Hampir saja aku terlelap, padahal aku belum ingin tidur, karena ini belum saatnya tidur. Prama sebentar lagi datang, aku menantikan kehadirannya. Kemarin dia janji mengajak aku merayakan selesainya novel baruku. Mungkin ini kesempatanku menguraikan simpul-simpul masalah yang membelitku.
Kakiku tak jua berhenti nenghentak lantai, ketegangan membuatku tak mampu menguasai gerak motorikku. Ahh, mengapa kali ini Prama begitu lamban.
“Pram, kenapa telat? Sedari tadi aku dilanda takut, aku takut keberanian ini hilang seiring bergantinya waktu” hatiku tak henti berujar sendiri. Huff…haruskah aku mengungkapnya, aku takut. Aku takut kehilangan ketika mulutku mengumbar rasa cinta yang sesungguhnya dan sebenar-benarnya terlarang untukku.
“Maaf…yah aku tadi banyak kerjaan, gimana acaranya sekarang atau diganti makan malam saja?” Prama membelai kepalaku, belaian yang lembutnya terasa menyentil hatiku.
Ya udah biar malam saja, lagian sekarang juga sudah bukan waktu makan siang lagi.” jawabku segera.
Prama telah beranjak meninggalkan aku yang masih sibuk sendiri dengan isi kepalaku, ia membaringkan tubuhnya ke sofa di ruang tengah. Sepertinya ia sangat letih, hatiku menggoda, mengajakku ke sana membelai rambutnya, mengecup keningnya dan merasakan aroma tubuhnya. Tidak…! aku tak boleh ke sana, biarlah aku memandang wajahnya dari sini saja, dari sudut hatiku yang perih.
Aku sepertinya hampir menjadi gila.
**********


Rasa kantuk yang menyerangku tak mampu mengalahkan keinginanku mengunjungi makam bunda yang entah berapa lamanya terbengkalai dari kunjunganku, “Maafkan aku bunda” bukannya aku lupa namun hanya sedikit terlena dengan kehidupanku yang pahit.
Kutabur kelopak-kelopak mawar putih yang sangat bunda sukai di atas pusaranya. Semoga harumnya sampai di atas sana. “Bunda…aku merindukan senyuman dan pelukan hangat tubuh kurusmu.”
Bunda, aku ingin membuat suatu pengakuan. Prama, anak dari lelaki yang bunda kasihi tapi mencampakkan kita, kini dia hadir dalam kehidupanku. Dia menawarkan sejuta bahagia, dia menginginkan aku sebagai adik yang dikasihinya. Namun pengakuan terbesarku adalah “Aku mencintainya…aku menginginkannya dalam bentuk lain, aku menginginkannya seperti bunda menginginkan ayahnya”.
Bunda…aku tahu ini salah, bagaimana aku mengakhirinya. Aku tak pernah menyangka sisi kewanitaanku hadir di antara aku dan Prama. Dia satu-satunya lelaki yang memasuki hidupku setelah lelaki bunda itu dulu membuang kita.
“Bunda…maafkan aku. Aku terperosok kedalam kubangan yang lebih busuk dari yang pernah kau masuki. Aku tak mampu menjaga hatiku yang rapuh, maafkan aku bunda. Maaf……..”
Bunda… aku sudah sangat letih, rasa kantukku tak mampu lagi kutahan. Bunda… tunggu aku! Sebentar lagi aku kan tertidur. Karena waktunya sudah hampir tiba, saatnya aku tidur.
***************


Kediamam Prama Adhytia 07:15 wita
“Seorang gadis belia ditemukan bersimbah darah Jumat dini hari di atas sebuah pusara , gadis yang identitasnya diketahui bernama Lara Sekar Ayu diduga mencoba mengakhiri hidupnya sendiri dengan motif yang belum jelas.”
Prama tersentak mendengar ulasan berita pagi yang baru saja ditontonnya, ia segera berlari tanpa menghiraukan apapun. Yang ada di kepalanya hanya Lara. Lara, mengapa Lara ? mengapa ?


Koridor Rumah Sakit 08:11wita
Wajah kusut dan kebingungan. Prama berlari mencari sosok yang sangat di kasihinya. Satu-satunya orang terkasih yang dimilikinya.
“Sus, Lara…gadis yang mencoba bunuh diri ?” ucapnya tergesa.
“Ruang Intensive Care…di sebelah sana”
Prama kembali berlari, tingkahnya hampir seperti orang gila. Airmatanya tak terbendung ketika melihat sesosok tubuh yang terbaring, selang infus dan alat bantu pernafasan menancap di tubuh diam itu.
“Lara bertahanlah…aku di sini, jangan tinggalkan aku dalam kesendirian” bisiknya. Prama bersimpuh memohon suatu keajaiban datang membangunkan Lara.
*************


“Assalamualakum…selamat pagi, Lara…”
Prama menyapa dari balik kaca, di hari ke empat Lara bergeming. Setitik asa Prama semai dalam hatinya, semoga Lara kembali, menemukan jalannya pulang ke sini, kepelukannya. Kali ini Prama tampak begitu rapi, bersih. Tak tampak lagi kekusutan yang ada beberapa hari lalu. Kini ia lebih tenang, terlebih ketika membaca ayat-ayat suci, mengirim doa untuk Lara seperti saat ini. Sampai hari ke empat Lara dinyatakan koma, Prama tak pernah beranjak kecuali ketika Shalat tiba. Karena saat itu pasti ia kan pergi bersujud menghadap-Nya.
“Pak Prama…nona Lara sudah siuman…”
Seorang suster menemuinya di Musholla Rumah sakit. Alhamdulillah…terima kasih, Tuhan. Langkahnya sesegera mungkin menuju kamar Lara. Tak terkira bahagianya ketika mendengar berita itu.
“Lara……”
“Kak Prama…maaf…”
“Jangan lagi Lara…”
Tiada terbendung lagi haru di antara dua insan itu. Prama mengengam tangan Adiknya terkasih. Tak ada kata lagi yang dapat menggambarkan perasaanya saat ini.
“Bunda… maafkan Lara. Ternyata Lara belum ingin tidur,….”


@sekolah menulis FLP Sulsel 2006….

Selasa, 24 Mei 2011

Parade cinta Matahari, Bulan dan Bintang

Yang satu matahari…
Yang satu bintang…
Sama berpijar… mempesona…
Matahari menawarkan kehangatan…
Bintang memberikan keteduhan…
Tanpa banyak kata bintang mencuri, hatiku. Lalu apa yang harus kukata? Jika matahari meminta asa yang pernah dititipkannya, Cintaku. Ahhh akulah bulan yang malang, terjebak dalam rasa yang rumit….


Saat rindu membuncah, saat tangisku pecah. Hatiku menjadi gelisah. Pikiranku pun gundah. Saat kumerasa kalah. Kalah terhadap janjiku sendiri. Kalah terhadap cita-cita yang terpatri. Namun akal sehatku menggeliat menolak. Aku harus tetap berdiri tegak. Teguhkan hati untuk beranjak. Selesaikan tugas sampai tiba finish kontrak.


Enyahkan segala rasa. Himpun kasih atasnya…


”My life is perfect because i have you” …. haruskah kuabai rayu itu?? ahhh susahnya jadi bulan yang plin plan…


Bulan tak akan plin plan hnya mentari menyekat di sela kolong langit kehampaan…


Atau mungkin kelak bulan memilih menjadi sabit yang tergulung malam…
Tanpa bintang, tanpa matahari…


Malam akan mengikis sebuah kata…
Bintang akan terbenam dalam bara mentari…
Bulan, Bintang, dan Matahari jadi abu tanpa bara…


Matahari…
Bintang…
Matahati…
Bintanghati…
Terimakasih atas cahaya cinta yang menyilaukan…
Dalam semesta langit hati yang berpendar…
Bulan mencari jawab…


Bintang….
Matahati….
Bintanghati
Di bilik ini rongga setiap titik gelora
Bumi tetap slamu menengadah
Seloroh cinta menyepi karang terelung


Serpihan malam bersama mas Agus Yulianto dan mas Wong Karang di Aksara Bebas..
Makasih…
By Desi Dian Yustisia..


Senin, 23 Mei 2011

Air dan Aur (Flash Fiction)


Matahari merah di bibir horizon. Temani aku menghabiskan petang di Toronipa. Pesisir pantai yang dulu mengakrabi jejak-jejak kaki kecilku. Pantai yang selalu kupijaki pasir putihnya ketika memunguti kerang-kerang cantik dan mengejar-ngejar kepiting kecil. Dulu, sebelum skenario hidup buatku beranjak menjauh dari pantaiku, jinggaku dan petangku. Kini, aku datang lagi. Kubiarkan jingga memotret kebisuanku. Kubiarkan lidah-lidah ombak menjilati coretan-coretan keluhku pada pasir yang selalu tabah kugambari resah. Kubiarkan petang memeluk rinduku sampai puas. Kubiarkan hujan di wajahku membaur dengan garam-garam air pantai Toronipa. Kubiarkan benakku liar melompati masa kembali ke lalu yang telah mati.
“Hei lihatlah cantik. Ini untukmu. Cinta yang besar. Hanya untukmu cantik” kata lelaki pantai itu. Ia melingkari aku dengan gambar cinta yang besar.
“Kelak, akan kubangun istana di atas cinta ini. Untukmu. Karena kau suka memandangi jingganya petang dari cinta ini” lagi ocehannya yang aku tanggapi dengan senyuman.
Lalu ia mengacak-acak rambut ikalku sebelum meninggalkan aku sendiri menikmati petang.
Dan aku memandangi punggungmu yang menjauh menuju perahumu. Sekilas kau melakukan ritual memanggil angin yang membuat layarmu terkembang.
Hatiku selalu resah memandangi siluetmu yang melambaikan tangan ketika perahu bergerak perlahan meninggalkan pantai dan aku.
*****
Lelaki pantaiku, lihatlah aku. Disini. Bersama pantai kita, jingga kita serta petang kita. Lalu dimana dirimu?
Lelaki pantaiku, lihatlah aku. Disini. Memadangi cinta yang besar itu. Cinta yang masih tergambar masih utuh di benakku meski coretanmu telah lama pupus oleh jilatan-jilatan ombak petang terakhir kau mengacak-acak rambutku.
Lelaki pantaiku, lihatlah aku. Disini. Datang lagi menagih janjimu. Tapi dimana istana itu? Bukankah di atas pasir yang kupijak ini kau pernah menjanjikan istana untukku? Apakah janji itu punah bersama hilangnya cintamu? Cinta yang buat kau biarkan aku terenggut dari masa lalumu. Cinta yang membuatku merindukan petang di pantai ini.
Sadarkah kamu? aku sakit tiap kali menjumpai petang tanpa pantai, jingga dan dirimu. Dan tahukah kamu? Betapa dadaku penuh sesakan rindu bertahun-tahun setelah kau paksa aku pergi menjauh.
Tapi kau harus tahu. Aku telah kembali. Seperti air laut yang menggulung-gulung menjadi ombak dan menepikan aur di pantai ini. Seperti itu pula waktu mengajakku pulang. Aku adalah aur yang akan selalu datang mengecup pantai ini, dan kau tak akan mampu lagi memaksa waktu yang terus mengalirkan ingatanku untuk menagih janjimu.
Tapi dimana dirimu lelaki pantai?
Hujan di wajahku kian deras, membaur dengan garam-garam laut lepas. Pantai Toronipa jadi saksi.
Aku mengenangmu lelaki pantaiku.
Ayah…
***
Kendari, 15 maret 2011




Sebuah Pengakuan…..


Padamu, lelaki yang kelak akan selalu ada di sisiku….
Aku punya janji istimewa untukmu…
Janji yang hanya akan kubisikkan pada Tuhanku saja…

Padamu, yang kelak dipilih Tuhan tuk menjadi lelakiku…..
Aku punya sebentuk hati yang tak sempurna
Pernah tergerus oleh kekecewaan yang luar biasa
Pernah terpatah oleh egois yang dahsyat
Tapi untukmu, janjiku buatmu lelaki paling beruntung di dunia…

Padamu, lelaki yang kuingin dipilih Tuhan untuk jadi Rajaku….
Aku punya harapan yang tak ada tandingannya…
Harapan yang menyempurnakan penantianku padamu…
Lelakiku….
Sejatinya hatiku menyebut kebahagiaan
ketika kau hadir dan menyematkan mahkota keratuanmu dihatiku…..



Inilah pengakuanku,… kutulis hanya untukmu…



Aku dan kota kecil ini…..




1306191247610430696Dendang pagi di kota kecil ini….
Biaskan ingat tentang pagi di tempat ayah dan ibu yang kutinggal…
Pagi yang selalu bangunkan aku dengan perasaan bersalah…
Ketika raga tak mampu bangunkan hatiku tuk pulang…



Pagi di kota kecil ini…
Ada rindu yang menggeliat dibekas tidurku semalam…
Rindu yang setia memeluk dinginku juga sisa tangis itu…
Tapi lagi-lagi aku belum ingin pulang…


Kota kecil ini…
Jadi saksi kisah hati…
Aku masih membersihkan luka batinku
Sebelum ikhlas memutuskan untuk pulang…