Matahari merah di bibir horizon. Temani aku menghabiskan petang di Toronipa. Pesisir pantai yang dulu mengakrabi jejak-jejak kaki kecilku. Pantai yang selalu kupijaki pasir putihnya ketika memunguti kerang-kerang cantik dan mengejar-ngejar kepiting kecil. Dulu, sebelum skenario hidup buatku beranjak menjauh dari pantaiku, jinggaku dan petangku. Kini, aku datang lagi. Kubiarkan jingga memotret kebisuanku. Kubiarkan lidah-lidah ombak menjilati coretan-coretan keluhku pada pasir yang selalu tabah kugambari resah. Kubiarkan petang memeluk rinduku sampai puas. Kubiarkan hujan di wajahku membaur dengan garam-garam air pantai Toronipa. Kubiarkan benakku liar melompati masa kembali ke lalu yang telah mati.
“Hei lihatlah cantik. Ini untukmu. Cinta yang besar. Hanya untukmu cantik” kata lelaki pantai itu. Ia melingkari aku dengan gambar cinta yang besar.
“Kelak, akan kubangun istana di atas cinta ini. Untukmu. Karena kau suka memandangi jingganya petang dari cinta ini” lagi ocehannya yang aku tanggapi dengan senyuman.
Lalu ia mengacak-acak rambut ikalku sebelum meninggalkan aku sendiri menikmati petang.
Dan aku memandangi punggungmu yang menjauh menuju perahumu. Sekilas kau melakukan ritual memanggil angin yang membuat layarmu terkembang.
Hatiku selalu resah memandangi siluetmu yang melambaikan tangan ketika perahu bergerak perlahan meninggalkan pantai dan aku.
*****
Lelaki pantaiku, lihatlah aku. Disini. Bersama pantai kita, jingga kita serta petang kita. Lalu dimana dirimu?
Lelaki pantaiku, lihatlah aku. Disini. Memadangi cinta yang besar itu. Cinta yang masih tergambar masih utuh di benakku meski coretanmu telah lama pupus oleh jilatan-jilatan ombak petang terakhir kau mengacak-acak rambutku.
Lelaki pantaiku, lihatlah aku. Disini. Datang lagi menagih janjimu. Tapi dimana istana itu? Bukankah di atas pasir yang kupijak ini kau pernah menjanjikan istana untukku? Apakah janji itu punah bersama hilangnya cintamu? Cinta yang buat kau biarkan aku terenggut dari masa lalumu. Cinta yang membuatku merindukan petang di pantai ini.
Sadarkah kamu? aku sakit tiap kali menjumpai petang tanpa pantai, jingga dan dirimu. Dan tahukah kamu? Betapa dadaku penuh sesakan rindu bertahun-tahun setelah kau paksa aku pergi menjauh.
Tapi kau harus tahu. Aku telah kembali. Seperti air laut yang menggulung-gulung menjadi ombak dan menepikan aur di pantai ini. Seperti itu pula waktu mengajakku pulang. Aku adalah aur yang akan selalu datang mengecup pantai ini, dan kau tak akan mampu lagi memaksa waktu yang terus mengalirkan ingatanku untuk menagih janjimu.
Tapi dimana dirimu lelaki pantai?
Hujan di wajahku kian deras, membaur dengan garam-garam laut lepas. Pantai Toronipa jadi saksi.
Aku mengenangmu lelaki pantaiku.
Ayah…
***
Kendari, 15 maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar