Serpihan Hati....
Mengenai Saya
Minggu, 07 Agustus 2011
Aira di hati Christian..
Selasa, 28 Juni 2011
"Cantik ini adalah hukuman!!!"
@pic.from google
Jendela berbingkai merah muda itu berderit dipimpong angin malam yang gundah. Seraut wajah membiaskan bait-bait luka itu masih betah memandangi barisan gemintang yang sibuk mengerlingi bulan pemalu di antara kabut tipis. Desah nafas lirih membaur dibisiknya angin, jelas keresahan menemani luka di wajah itu. Wajah yang cantiknya masih bergeming meski masa telah lama meninggalkan ranum remajanya. Wajah cantik penuh luka. “Cantik”.
Cermin di kamar tak satu pun utuh melukiskan cantik itu, akan ada guratan luka yang serta merta meretakkan cermin-cermin dan kaca yang menatap cantik wajahnya. Sama retaknya hatinya, saat lelaki yang dicintai memilih mundur dan berlalu sebab tak mampu menebus mahar untuk membeli cantiknya cantik.
“Mengapa harus menjadi cantik, ini sungguh kesakitan”
Lampu taman di seberang jendela, terang meredup ditingkahi sekumpulan laron. Serangga-serangga itu terpukau cahaya benderang. Namun setelah dekat kemudian menjauh berlompatan tersengat panas. Beberapa jatuh mati, karena tak cukup kuat menahan sengatan. Sebagian menjaga jarak dan mengintai sambil sesekali mencoba dekat lagi.
“Ah… Aku pun begitu, bagian dari diriku membunuh nyalinya, bahkan cinta pun tak mampu hidupkannya lagi”.
Tidur mungkin adalah lupa, seperti malam-malam kemarin. Lupa pada kesakitan dan keletihan menggantungkan luka di raut cantik. Sebagaimana lupa pada lelaki yang nyalinya ciut melihat label “mahal” perempuan yang pernah diakui sangat dicintainya. Tapi tak mungkin selamanya lupa. Setelah bangun esok, luka itu pun ikut terbangun. Kemudian menemani melarung hari hingga bertemu pekat malam. Lagi dan lagi. Episode yang sama berulang setiapkali terbangun dan kemudian meniti detik menuju menit mengantar cantik pada masanya tertidur lagi.
Satu episode masa lagi akan menggenapkan sewindu kepahitan, sejak mula di seperempat abad usianya. Cantik tetap cantik, mengarung sepi pada sendirinya. Yang pernah di sebut kekasih masih mematung dihati, meski telah lama berlari menjauh. Dia pergi setelah menitipkan luka. Luka yang tak mampu terusir sejak kekasih itu memunggunginya.
Mata hati belum mampu menganulir luka dan bayangan lelaki bernyali ciut yang dicintanya. Mengikatkan janji pada waktu, untuk menunggu masa ketika lelaki itu memutuskan kembali menjemput lukanya dan membawanya pergi dari wajah cantik.
“Kapan masa membebaskan hati?”
Jemari lentik cantik menimang sebuah cincin yang sore tadi disodorkan padanya. Ada yang sedia membayar mahar untuk cantiknya bahkan jauh lebih dari yang menjadi harganya, “Membeli cantiknya”.
“Ahh…. Inikah akhirnya menyerah?”
Cicak berkerumun di sudut kamar, berdecak-decak melihat cantik yang masih saja memaku diri diambang jendela berbingkai merah muda. Siluet wajahnya berpendar tertimpa sinar bulan, selintas ada pelangi membias dari genangan air di mata bulatnya. Sungguh sangat cantik, bahkan saat menangis pun semesta mengakui cantiknya.
Bintang mulai mundur satu satu, memberi ruang pada langit untuk semakit pekat. Meninggalkan bulan yang tinggal separuh. Puncak malam kembali menghitung waktu dari detik pertama, memulai hari yang baru. Kemarin pun telah menjejak esok, dan pagi mulai tercium wangi lembayungnya. Namun cantik semakin resah menghitung sisa masa sebelum esok cantiknya terlelang kepasrahan. Mungkin semestinya menyerah saja, kalah pada cinta yang tak terjamah.
“Saya terima nikahnya cantik dengan mas kawin tersebut tunai!” Ijab pun terucap.
Cincin telah melingkari jemari lentik, cantik telah terbeli. Luka masih disana, bahkan kian semi dibasuh rintik di raut cantik. Senyum di bibir ranum itu masih manis walau getir tersungging di sudutnya.
“Cantik ini adalah kutukan”. cantik itu berujar mengiring perih dihati.
Penajam Paser Utara, 27 Juni 2011
*Ketika mahar menjadi momok untuk cinta…. Semestinya hati tetap nyala dalam nyali….
Sabtu, 25 Juni 2011
Angka-angka yang mengejek
23:48 .... "Hei lihat, Perempuan itu masih terpasung disana"
23:50 .... "Dia terlalu bodoh, mau saja diperdobohi"
23:51 .... "Perempuan yang mana???"
23:53 .... "Itu, Perempuan yg belum meninggalkan kursinya sejak pagi"
23:54 .... "Kasihan,..."
23:55 .... "Menyedihkan..."
Sssssssssssttttttttt.... Brisik!!!
Bisik-bisik itu masih terdengar jelas,
Aku mematung bukan terpasung....
Jangan mengejek karena aku sedang tak ingin menjadi objek...
Aku perempuan bodoh, karena aku memang tak ingin pandai....
Sebab pandai pernah buatku mendustai hati....
Maaf, sepiku adalah damaiku....
00:00 .... "Hemmm.... kami suka amarahmu, kau cantik malam ini sayang"
Penajam, 00:01 26.06.2011 by Dedes_Remora....
Kamis, 23 Juni 2011
Bayangan Matahari (Cerpen)
Rabu, 20 April 2011. Kutulis tanggal ini dalam diary hitam setebal angkuh yang pernah kulihat di ambisimu. Lelaki pemuja mimpi. Bahkan duniamu tercipta dalam mimpi. Dan kau paksa hidup pula dalam mimpi-mimpiku. “Bermimpilah, maka aku akan hidup dalam dirimu”. Itu pesanmu sebelum menanamkan siluet punggungmu yang tertimpa cahaya matahari petang yang jingga dalam benakku. Sejak saat itu Matahari tak pernah terbit lagi. Hingga h atiku menjadi malam dalam ratusan hari berikutnya.
Dulu. Lama sebelum kepergianmu. Aku yang menghilang dari pandanganmu. Menjadi kabut bagi pertanyaan hatimu. Bukan tanpa sengaja, sebab kau telah memilih menjalani hidup yang rumit sementara aku masih ingin berlari mengejar pelangi. Perpisahan satu dasawarsa adalah kebaikan yang tercorengi dengan masuknya sebuah pesan dalam akun Facebook dengan subjek “Menyambung Tali silaturahmi”. Lelaki itu kau, datang membuka kotak memoriku. Mengingatkan “surat perahu” yang pernah kuterima dan kusimpan betahun-tahun namun hilang dengan sendirinya terbawa waktu yang mengaburkan kenangan tentang masa putih abu-abu yang telah jauh kutinggalkan. Gejolak bersahut-sahutan dalam hatiku, membaca pesanmu. Sambil memandangi notifikasi permintaan pertemanan darimu yang tampak berubah dari foto profil yang terpasang di akunmu. “Hemmm kau berubah” pikirku saat itu. Lama. Dan akhirnya kubiarkan saja dan meng-Logout keresahanku kemudian pergi mencari udara yang sepertinya hilang dari sekitarku.
Matahari. Selalu terbit dari senyum timur dan terlelap di petang barat. Tapi entah timur dan barat telah hilang dari semestaku sejak kau hadir lagi dihariku. Atau lebih tepatnya aku terusir dari siang. Dan kau menempatkan aku selayaknya bintang kecil di belantara malam. Bertahan dengan sinar yang redup. Kadang aku menurunkan hujan dan meniupkan badai dahsyat dari hatiku. Tapi tetap saja tak tersampaikan sebab siang dan malam adalah dua kehidupan yang dibatasi tembok tebal, setebal angkuhmu yang tumbuh seiring sujudnya hatiku. Dan angkuh itu yang tak mampu kulangkahi.
“Matahari Matahati…. Dan biarlah aku jadi bayangan Matahari saja…. Seperti yang kau bisikkan dalam tidur kita malam itu” desahku sembari membaca segala aktifitasmu hari ini di Facebook.
Matahari. Akulah bayanganmu. Sejauh apapun kau berlari selalu saja rantaiku terbawa mengikuti langkahmu. Kadang kau tak menyadari aku di belakangmu. Atau ketika aku tepat di samping jantungmu. Untung saja aku sangat menyayangimu, kalau tidak sudah kutikam jantungmu karena telah membuat hatiku berdarah-darah demi menyimpan perasaan cinta yang kau titipkan.
Ini bukan salahmu sepenuhnya, aku yang paling bersalah. Jika saja saat itu aku tak meng-klik Confirm untuk permintaan pertemananmu, mungkin saat ini kita masih bahagia dengan dunia masing-masing. Kau tak perlu susah payah berlari dan aku pun tak perlu mengejarmu saat ini.
“Bodoh!” umpat bayangan di cermin yang telah kuretakkan kemarin sore.
“Mengapa kau terima?”
“Mengapa kau buka lagi pintu yang sudah kau tutup bertahun-tahun lalu?”
Aku menutup telingaku, mencoba untuk tuli, tapi suara itu makin kencang mendesakku. Karena suara itu bukan dari luar tapi lantang dari dalam diriku. Membentak. Meremas-remas hatiku yang telah berkerut-kerut sejak lama. Sejak kau pergi lagi.
“Kau terlalu lemah!”
“Perempuan lemah!”
“Pantas saja kau selalu tersakiti sebab kau tak pandai menjaga hatimu sendiri”
Bentakan-bentakan kian lantang, keluar melompat dan bergema di kamar sepi tempatku menyulam harapan bersama sungai-sungai yang mengalir di dataran sembabku. Mengukir keyakin kau suatu saat kembali. Aku tahu suatu saat kau kembali, entah kapan dan entah apa saat itu aku masih di sini bertahan menunggumu atau telah mati mengering bersama anggrek tanah yang tak lagi berbunga ungu.
“Mencari sosok berhati batu… bukan yang berhati bunga… dan kau yang berhati bunga jauh-jauhlah dari kehidupanku” pesan yang kau tujukan padaku, menyikapi kecengenganku saat membutuhkan perhatian. Dan seingatku itulah pesan terakhir sebelum kau memutuskan me-remove aku dari friend list-mu.
Matahari. Tahukah kau? Akulah bayanganmu. Sesungguhnya bayanganmu. Senyumku terasa begitu lapang mengingat kau begitu bodoh telah termakan umpan yang kuberikan. Aku hadir sebagai sosok lain dalam hidupmu saat ini. Dan tahukah kau, baru saja kau mengirimkan pesan cinta padaku. Bayanganmu. Entah mengapa hatiku tak tersakiti oleh penghianatanmu. Justru menambah semangatku untuk memburumu. Sekali lagi aku merasa senyumku begitu indah. Seandainya saja kau melihatnya, aku yakin kau akan bersujud memohon ampun karena telah menyia-nyiakan waktu ratusan hari yang telah lewat.
Jemariku bermain, merambahi tuts demi tust huruf keyboard menuliskan kata, semakin semangat merantaikan kalimat yang fasih mengucapkan cinta yang manis, semanis secangkir teh yang selalu kusuguhkan padamu dulu. Dan sebentar lagi akan kukalungkan di lehermu.
Matahari. Bersiaplah menelan kekalahanmu. Sebentar lagi. Dan aku yang lain, Refeyfa Ashyila. Aku adalah bayanganmu. Jelmaan kekasih yang kau abaikan demi mengejar mimpimu yang maha besar, sebesar Matahari. Kali ini aku bukanlah Dian kekasihmu yang selalu diam. Dian yang dulu kau sebut Kendedes-mu. Yang sering kau cekoki roman klasik Kendedes-Kenarok yang kau kagumi.
Dulu. Sebelum aku tahu bahwa cintaku tak mampu melarut dalam dunia politik yang kau gemari. Dulu, ketika aku masih merasa kau sangat lucu sama lucunya ketika kau menitipkan surat perahumu di hatiku.
Tapi sekali lagi itu dulu sayang, sebelum kau bangunkan lelapku dengan ketegaanmu menempatkan aku sebagai tumbal kejayaanmu. Kini Kendedes yang memegang kerisnya sayang, entah kelak akan membunuhmu Matahari atau akan mengakhiri nafasnya sendiri. Inilah pertarungan kita. Bertarung mempertaruhkan hati yang tinggal secuil nyali dan nyalanya.
Aku tahu kau akan terjebak, semenjak kau mulai perhatian dengan barisan kata yang kutulis dalam jejak status facebook akun baruku. Mulai dari menjempoli dan akhirnya berani mengomentari. Hingga meladeniku berjam-jam membual dalam sesi Chat. Dan terakhir kali beberapa menit lalu kau setia membalas penggalan-penggalan puisiku di ruang inbox. Hahahaha… aku terbahak melihat kau memakan umpanku sayang.
Diam-diam aku menulis sebait puisi dalam notes yang kuselipkan di diary hitam, setebal angkuhmu, Matahari. Puisi ini akan jadi kabut gelap yang sanggup menidurkanmu sepanjang masa. Biar semesta kehilangan cahaya. Menjadi gelap. Menjadi malam-malam yang panjang bagi sekalian umat yang berkiblat pada pesonamu. Biar mereka merasakan gelap yang membutakanku. Dan kau Matahari, tak akan mampu terbit lagi karena cahayamu telah aku perangkap dalam toples-toples sesalanmu.
Dalam kenangan yang akan memenjarakan hatimu kelak, aku akan tersenyum manis. Sangat manis. Semanis secangkir teh yang selalu kau minta aku suguhkan di pagimu. Pagi ketika kau masih senang bergelung di dadaku. Masih mencari hangat di pelukku. Aku masih ingat kau selayaknya bayi, manja. Menjadi tidak independent jika telah masuk kepelukanku. Berbanding terbalik jika kau bergelut dengan duniamu yang penuh intrik, taktik dan spekulasi. Itulah kau Matahari. Selalu terbit dan mengedar cahaya di duniamu yang siang. Dan selalu pulang dan terbenam padaku. Petangmu.
“Nyanyikan lagu untukku dek” pintamu.
Dalam kenangan yang akan memenjarakan hatimu kelak, aku akan tersenyum manis. Sangat manis. Semanis secangkir teh yang selalu kau minta aku suguhkan di pagimu. Pagi ketika kau masih senang bergelung di dadaku. Masih mencari hangat di pelukku. Aku masih ingat kau selayaknya bayi, manja. Menjadi tidak independent jika telah masuk kepelukanku. Berbanding terbalik jika kau bergelut dengan duniamu yang penuh intrik, taktik dan spekulasi. Itulah kau Matahari. Selalu terbit dan mengedar cahaya di duniamu yang siang. Dan selalu pulang dan terbenam padaku. Petangmu.
Tapi mungkin mimpi terlau keras menarikmu. Hingga kenyamanan yang kusajikan di petang tak membuatmu pulang lagi. Kau malah mengirimku pada malam. Dengan dalih kau membutuhkanku sebagai bintang yang bisa menjadi navigatormu dalam kegelapan. Dan bodohnya aku saat itu karena terlalu menyayangimu dan rela menjadi apapun yang kau mau.
“Aku jauh bukan tak memikirkanmu dek” selalu itu yang kau bilang ketika merajuk meminta kau pulang. Lagi dan lagi aku tidak mampu menjawab katamu.
Kau terlalu larut dalam mimpi sehingga melupakan yang nyata. Kau terlalu lelap hingga mata hatimu pun tak melihat ketulusan yang aku suapkan padamu. Kau menjauh, terbenam dalam kesibukan yang tak masuk di akalku.
“Nikmatilah mimpimu, sayang. Sebentar lagi aku akan membangunkanmu dengan kejutan kecil, sebuah kecupan manis untuk hatimu yang aku rasa hampir jadi batu!” ucapku setelah mengklik tombol sent. Dan status terbaru “Rafeyfa Ashyila” muncul dilayar.
“Tahukah kamu aku mengagumimu… saat ini cukup mengagumimu saja… selebihnya itu terserah kamu”
Dan seperti yang aku inginkan kau menjadi orang yang terpengaruh untuk menyahutiku.
“Aku yang mengagumi Fey… keluasan benakmu… dan kekuatan hatimu yang tak tersentuh”
“Heeeemmmm baiklah kau telah masuk perangkapku lagi sayang”. Desisku seperti ular yang siap menerkam mangsanya.
“Tak tersentuh? Bagaimana bisa kalimat itu kau alamatkan padaku? Sementara tanganku terbuka lebar menyambut rasa…”
“Bukan tanganmu yang aku ingin menyambutku, aku butuh hatimu untuk kujadikan rumah untuk tinggal”
“Heeemmm…. Gombal…”
“Itu jujur hai perempuan…”
“Tapi menurutku itu gombal hai lelaki”
Aihh menjadi penguntit rasanya lumayan mengasikkan… tersenyum-senyum aku membaca status yang yang semakin lama semakin membuatmu terhanyut jatuh mengikuti arus permainanku.
Maafkan aku Matahari. Aku perlu melakukan ini untuk mencairkan matahatimu yang telah beku. Membuka blockade yang menutupi nuranimu. Sepertinya kau perlu merasakan sakit untuk tersadar bahwa kau pernah membuat sebuah hati tersakiti. Dan hati itu milikku.
Inilah aku bayanganmu, Matahari. Dan lihatlah, Kendedes yang memegang keris saat ini. Entah darah siapa yang akan tumpah. Kau atau aku.
….Penajam… Bpp, Kaltim…
Selasa, 21 Juni 2011
Bagaimana bila aku bukan Perawan?
Ini petang yang kesekian kalinya kita habiskan bersama, memainkan kata. Membisikkan getar-getar berdebar diantara helaan nafas yang kita buat seakan lepas namun tetap terasa kita sama menyimpan debar yang hebat ketika mata elangmu bertemu sinar malu di wajahku.
“Aku sayang kamu” katamu sekali lagi, tanganmu lihai membenahi anak-anak rambutku yang dikacaukan angin.
“Aku juga sayang kamu” bisikku lirih. Sama seperti petang kemarin, sepertinya kita hanya fasih mengucap kalimat yang sama. Seolah lisan hanya tercipta untuk konfigurasi kata itu-itu saja.
Petang kian pekat. Turun perlahan mengantar matahari yang lelah seharian mengedar bumi. Jingga pun meng-ungu, bias-bias lembayung berbayang di matamu. Kembali mengirim debaran yang hebat, menelikung di semesta hatiku.
“Sayang, bagaimana kamu memandang cinta?” ucapku melawan debar yang kian liar.
“Cinta, itu suci”
“Lantas bagaimana kamu mengkadarkan kesucian itu?”
Hanya senyum yang ada di wajahmu. Menjawab tanyaku yang menjadi gantung di benak. Pandanganku belum ingin lepas dari wajahmu, mencoba meraba-raba jawab disana.
“Bagaimana bila aku bukan perawan?” tanyaku lagi.
Ada yang berubah di sana kulihat. Senyum itu menjadi hambar dan perlahan pudar. Dan akhirnya kutemukan jawaban di sana. Suci seperti apa yang kau takar di diriku. Di hatiku.
“Aku sayang kamu” bisikku sekali lagi sebelum benar-benar beranjak berlalu dari petang yang juga habis untuk kita. Sebab esok tiada “kita” lagi.
Tak kubiarkan jadi benci
Tergerak hatiku berkata
Cinta datang karna dirinya
Mengapa baru kini jujur
Tentang cinta yang kau inginkan
Dan kau menuntut kesucian
Bukan perawan seperti yang engkau mau
Mungkin saja dulu ku pernah ternoda
Apa bedanya bila aku mencinta
Sempitnya pikiranmu tentang akhir cinta
Seandainya dulu kau berlumur dosa
Sekali ku cinta tetap cinta
Senin, 20 Juni 2011
Teruntuk yang ku sebut Kekasih
Bisikan cintamu....
Kata sayangmu...
Bergetar mendebar....
Menghenti naluri jiwa memecah buncah...
Luruh dalam nafas yang seketika lepas...
21 Juni 2011.... teruntuk yang kusebut Kekasih....
Kamis, 02 Juni 2011
Masihkah ada jumpa?
Apakah itu ada untuk kita??
Dan apakah rasa masih saat gerimis itu??
Aku menghabiskan masa,
Menulis bait rindu di helai malam...
Dan kau???
Kurasa berpuluh-puluh batang rokok telah meng-abu karenanya....
Aku mengasuh detik,
Menyulam impi tentang sua yang legah....
Sementara kau???
Kurasa terus berlari mengejar debu-debu yang kau sebut harapan....
Lantas dimana perjumpaan???
Ketika kita tak lagi tersimpul dalam ingin yang sama....
02 Juni 2011.....
@Pic.from google.....
Sabtu, 28 Mei 2011
Aku suka amarahmu, Matahari....
Geram Matahari melihatku...
Membiarkan angin membelai wajahku...
Ahhh peduli amat, yang jelas aku suka...
Aku perempuan bebas,...
Bukankah kita sudah sepakat tentang itu...
Jadi jangan merajuk dengan cemburumu...
Marahlah...
Bakar aku dengan geramanmu...
Aku suka...
Aku suka cemburumu...
Aku suka melihat cinta dalam amarahmu.
Aku Suka.....
@pic.from google
Jumat, 27 Mei 2011
Pagi ini, genap pagi keseribu….
Menghitung kenangan dan mencoba meniti jejaknya satu-satu.
Berharap menemukan titik awal aku mengenalmu, Sayang.
Ada bias-bias cahaya menelikung, menuntunku…
Melewati celah waktu yang sengaja kau hapus.
Membawa jasad ringkihku yang hampir habis di gerogori kerinduan pada cahaya matamu.
Cahaya yang dulu mempesonaku, yang dulu serupa magic yang buatku serasa hidup lagi.
Pagi ini, genap pagi keseribu…
Ketika sayapmu tumbuh dan tak lagi bisa tinggal disisiku…
Ketika cahaya bukan sekedar ada di matamu…
Ketika aku tahu kau bukan lagi Lelakiku…
@picture from google…
Kamis, 26 Mei 2011
Narasi Cinta Matahari dan Bintang
Kisah pendek dari dua individu, dua karakter, dua latar belakang masa lalu yang pahit, dua impian tentang masa depan…………
Rabu, 25 Mei 2011
Lara Belum Ingin Tidur….(Cerpen)
“Hujan, mengapa kau mengajak rasa malas menggodaku? Deadline mengejarku beberapa hari ini, tahukah kau itu?”
Aku masih belum tahu alur apa yang akan mengikat kisahku kali ini. Dengan sedikit tabungan kata kucoba kembali merangkai kalimat, semoga saja menetaskan sesuatu yang dapat memuaskan para pembacaku nanti.
Zora… di bawah naungan kerlip bintang menghirup udara dengan segenap asa, semoga saat ini di belahan dunia yang lain ada sesorang yang sama sepertinya sedang merasakan kerinduan. Kerinduan yang sama pada dirinya.
Helai-helai daun akasia jatuh berguguran, Zora memungutinya satu per satu. Setiap helai dihargainya dengan satu rindu jika ada seratus helai maka seratus rindu yang kini ada di hadapannya. Zora menuangkan kerinduannya pada helai-helai yang kemudian diterbangkan angin malam. Zora berharap pesan rindunya sampai pada hati yang di tujunya.
Ahh…..andai saja aku juga dapat menjadi seperti “Zora” dapat merasakan kerinduan pada kekasih hatinya, namun kenyataannya aku terlalu takut tuk menjadi “Zora”.
Pengalaman dan jalan hidup pahit yang pernah mewarnai hampir seluruh waktuku membuat aku benci berkekasih. Karena bagiku hanya berujung pada kepahitan dan derita. Masih terbayang rona biru yang tak pernah lepas dari wajah bunda, itu adalah buah kasih yang ditoreh oleh seseorang yang diakui mengasihinya.
Bahkan sampai saat ini aku tak pernah habis fikir, bundaku yang hingga akhir hayatnya tetap menganggap lelaki bejat itu adalah kekasihnya. Bagiku jika memang benar cinta itu indah mengapa harus ada kekerasan, mengapa harus ada airmata yang tumpah.
Dalam hidupku, satu-satunya kasih yang aku tahu rasanya yaitu pelukan hangat bunda, kalau ada kasih-kasih yang lain itu hanya ada dalam kisah yang kukarang. Ya…aku memang hanya bisa ngarang tentang rasa itu.
seorang lelaki memeluk tubuh zora yang kedinginan tersapu hujan, ada kehangatan yang mengaliri setiap sel-sel tubuhnya. Zora terlena pada suasana yang menyelimutinya saat ini, ia lupa pada semua kenyataan bahwa di hatinya telah ada lelaki lain.
Zora tersedu seketika menyadari dirinya telah melakukan kesalahan, ia telah berkhianat, bukan pada siapa-siapa tetapi ia mengkhianati hatinya sendiri. Dengan sekali sentakan ia melepaskan pelukan itu dan kemudian berlari di bawah hujan yang tiada usai jua.
“Zora”…kisah cintamu akan kubawa ke mana lagi ? Sepertinya hujan telah menghapus sebagian kalimat yang telah kurancang di kepalaku. Dingin dan rasa lapar menggerogoti tubuhku yang tak pernah lagi ku urus. Sepertinya saat ini aku adalah wanita yang paling tak menarik di dunia, karena dari sudut mana pun memang tak ada yang menarik. Wajah yang kuwarisi dari bunda memang salah kalau dibilang jelek, tapi tulang pipiku kini mulai menonjol mengikuti penyusutan tubuhku. Namun dari semua itu aku tak peduli, untuk apa aku menarik ? Untuk siapa?
Oh hujan, sampai kapan kau terus mengungkungku dalam keterbatasan ini. Aku butuh keluar, keluar mencari sinar yang dapat menerangkan otakku yang beku oleh dinginmu. Aku butuh lebih banyak kalimat untuk “Zora” dengan kisah cinta imajinasiku.
kamar berdinding merah muda dan dihiasi lukisan bunga mawar putih, di dalamnya ada sesosok perempuan muda berbaring di atas kesedihan yang dalam.
Zora masih tak mengerti…..mengapa hatinya tak membangunkan dari lena yang menjerat tangisnya. Zora kehilangan selera makan selama beberapa hari belakangan, waktunya terbuang dengan menyalahkan dirinya.
“Zora………sadarlah tangismu kan menjadi sia-sia jika tak ada yang kau lakukan tuk melunasi khilafmu.” Suara itu begitu nyata di telinganya, meniupkan semangat tuk bangkit dari sesal. “Ya…aku tak mau menjadi sia-sia!” Zora menegaskan hatinya.
Hujan sudah terlalu lama menahan kesabaranku, dan bosan telah sampai pada puncak. Aku berlari menerobos hujaman titik-titik air di tubuhku. Dinginnya meresap hingga ke tulang, aku terus berlari ke mana pun langkahku nanti berhenti.
“Aaaaaaaaa……….” Kulepaskan sesuatu yang selama ini menghimpit dadaku, tak peduli mata-mata yang memandang heran padaku. Ada sedikit nyaman terselip dan tersungging di bibirku kini.
Ternyata ada sisi positif yang kudapat dari memasrahkan diri didera ribuan tetesan langit yang mencair. Setidaknya kini aku sedikit merasa lebih dekat dengan tuhan yang kuanggap telah menjauhiku sejak satu-satunya yang kumiliki “Bundaku” direngutnya.
Tak terasa ada hangat yang leleh di wajahku, aku ingin menangis sepuasnya. Di sini aku bebas menumpahkan air mata, tak ada yang tahu. Hujan menyamarkan linangannya. Sejak dulu berjuta tangis telah tertimbun di hati. Aku memang terlahir untuk menahan tangis, karena aku tak ingin lelaki yang menelantarkan aku dan bunda bahagia melihat linangan airmata yang mengalir untuknya.
Lelaki itu, telah menelan keinginanku tuk bergaul dengan kaumnya. Bagiku tatapan mata mereka terhadap wanita selalu sama, “Wanita adalah objek lemah yang tercipta dari tulang rusuk lelaki”. Ahh…ungkapan yang membuat lelaki merasa pantas mendapatkan rasa terima kasih dari wanita. Cuihh…maaf saja aku tak kan berterima kasih pada lelaki yang telah menyemaiku di rahim bunda kemudian seenaknya menyandangkan label “Anak haram” di leherku.
Apakah salah jika aku membencinya? Toh kebencian ini terlahir dari tatapan jijiknya ketika bunda memohon di kakinya. Memintanya mengakui aku sebagai darah dagingnya. Oh Tuhan… biarlah aku berdosa menanam kebencian ini, karena hanya ini yang membuatku kuat menjalani garis panjang yang menuntunku pada ujung hidupku nanti.
*************
Seorang lelaki muda sedang duduk di teras kontrakanku ketika aku melangkah pulang. Dia tak asing bagiku, beberapa kali ia pernah datang menemuiku dan tetap saja datang walau setiap kali itu pula aku menampiknya.
“Lara……” sapanya.
“Jangan pernah panggil namaku lagi, karena itu akan membuatku semakin membenci.” Kepahitan hidup semakin jelas jika ingat namaku LARA.
“Kumohon kali ini jangan menghelaku pergi”
Aku bergeming, dengan seluruh tubuh basah kuyup ditambah dingin yang membuat wujudku bergetar. Aku masih mencari kata yang tepat untuk membujuknya pergi, namun aku tak sanggup lagi menopang tubuhku yang kemudian tersungkur jatuh di hadapan lelaki muda itu. Aku, tubuhku melemah, namun kesadaranku belum sepenuhnya menghilang ketika aku merasa ada lengan hangat yang mengangkat tubuhku yang kemudian melayang entah ke mana.
********
Perlahan mataku membuka kelopaknya, kesadaranku mulai pulih. Ughh…seluruh tubuhku terserang rasa nyeri yang begitu hebat, kepalaku pun seperti terpukul gada besar. Aku terbaring di atas tempat tidur dalam kamarku dan terbungkus selimut biru tua kesayanganku, padahal seingatku terakhir kali aku tak di sini.
Kertas-kertas yang berantakan di atas meja kini tersusun rapi bersama beberapa kelopak mawar putih menghiasi. Ada yang aneh dengan suasana kamarku, jendela di sisi kanan yang jarang aku buka kini dengan jelas menggambarkan titik-titik hujan di luar sana.
Aku mencium bau yang sedap dari arah dapur, siapa yang berada di sana? Apakah aku masih terpasung di alam mimpi?.
“Sudah bangun…?” suara itu menjawab tanyaku.
“Pram, ngapain kamu disini?”
“Makan dulu, ngobrolnya nanti setelah tubuh kamu kuat.”
Suapannya membungkam mulutku yang dipenuhi berjuta tanya. Dia masih seperti dulu, mencoba membujukku dengan segala kebaikannya. Prama, lelaki muda yang tak pernah jera setiap kali kuusir di depan pintuku. Dia lelaki yang tak pernah menyerah menawarkan kehidupan manis padaku, namun selalu kutolak.
“Pram, kenapa? Kenapa kamu tak pernah bosan datang untuk kuusir?” tanyaku dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
“Aku tahu bukan aku yang kamu usir, masa lalu dan kebencianmulah yang sesungguhnya tak kamu inginkan hadir.”
“Mengapa kamu seyakin itu?”
“Karena aku tak punya salah padamu.” jawabnya menohokku, dia benar tentang itu. Dia memang tak punya salah padaku, “Lelaki” itu yang salah. “Lelaki” yang memberi hak berbeda antara aku dan Prama. Meski darah yang mengalir di tubuh kami berasal dari satu cawan namun akhirnya kami berada di tempat yang berbeda. Prama diakui keberadaannya, sedangkan aku tidak dipandang sama sekali.
“Walau bagaimana pun kamu mengingkarinya, tetap saja kamu tak bisa memutuskan ikatan ini. Lara, kamu tetap adikku sampai kapan pun!” Prama semakin membuatku tak bisa membantah. Setiap kata yang keluar darinya memang nyata. Aku kian tersudut akan penolakanku selama ini.
“Tapi Pram…, aku tak pernah diinginkan, itulah batas antara kita!”
“Jika tak menginginkanmu mengapa aku harus berada di sini?”
Aku terdiam, menarik nafas yang dalam. Mencoba menekan buncah dalam dada yang ingin tumpah di mataku.
“Lara, tolong jangan mengikutkan aku dalam kebencianmu!” Prama menggenggam kedua tanganku dengan tatapan yang baru kali ini aku dapati selama hidupku. Aku merasakan ada ketulusan dari dalam sana, memanggilku.
“Lara, ijinkan aku menyayangimu, ijinkan aku memberikan kasih sayang yang menjadi hakmu sejak kita terlahir kedunia.”
Aku tak kuasa menahan lagi derasnya airmata yang menyeruak keluar dari mataku. Entah kekuatan dari mana yang membawaku memeluk lelaki muda di hadapanku itu. Lelaki muda yang tak pernah menyerah datang menawarkan kasih sayangnya pada adik yang tak diakui ayahnya.
Sepertinya kebekuan yang ada di antara keduanya mulai pudar, seiring hilangnya berkas airmata yang tersapu jemari kasih sayang.
air mata telah usai, kini senyum yang terkembang. Dalam keheningan malam zora berharap mimpi indah menghiasi tidurnya. Zora lelah menyesali waktu yang telah lewat, satu kesadaran baginya yaitu kesalahan itu adalah kenangan terindah. Sesungguhnya ingin ia merasakan hangat seperti saat itu lagi kalau boleh ia berharap.
Zora mencari celah di hatinya yang tersengat oleh kehangatan lelaki yang tak diingat wajahnya. Hanya rasa hangat yang terus mengusiknya, bahkan dalam mimpi sekali pun ia ingin merasakannya.
“Zora” tunggu saja aku akan membuatmu menjadi wanita paling bahagia, aku janji. Sejak Prama masuki kehidupanku, sepertinya aku mendapat nyawa baru. Dia adalah satu-satunya lelaki yang mendapat pengecualian dari hatiku. Kegigihannya membasuh kebencian dalam diriku membuat aku luluh.
Kini, duniaku tak terbatas pada kamar yang selama ini menjadi istana kesendirianku. Karena telah banyak waktu berpetualang yang Prama ukir di kenangku. Prama memberiku ruang-ruang baru untuk bernafas. Dia sungguh memanjakan aku. Sesuatu yang baru kali ini terjadi di garis hidupku.
“Bunda, Lara kini dapat tersenyum seperti bunda, Kata Prama senyum Lara sangat manis.” bisikku. Aku yakin itu pasti semanis senyuman bunda yang masih melekat di benakku. Aku jadi ingin tahu satu hal, apakah seyuman itu pula yang membuat lelaki itu hadir di sisi bunda. Jika itu benar semoga senyuman itu menghantui setiap waktu yang dilaluinya tanpa kami.
………membuat paras ayu itu memerah, tak menyangka jika lelaki pujaannya melamar dirinya dengan cara yang sungguh mengejutkan jiwanya.
Zora tersenyum malu mengingat masa itu, walaupun akhirnya ia memutuskan tuk menolak rentangan kasih yang tebar oleh lelaki pujaannya itu karena alasan yang dia sendiri tak mengerti.
Zora sudah cukup bahagia dengan apa yang dimilikinya saat ini, seorang lelaki biasa yang jauh dari kesempurnaan namun selalu dapat membuatnya nyaman setiap saat.
Zora sadar cinta adalah sesuatu yang sampai kapan pun tak dapat di ejawantahkannya dalam wujud, kata dan waktu.
Zora sadar ia tak mampu meraba kedalaman hatinya apakah d isana memang ada cinta, hanya satu yang ia sadari adalah kehidupan nyata yang kini ia jalani bersama lelaki yang setia memberinya rasa nyaman dan membuatnya merasa selalu diinginkan.
End
Akhirnya usai juga, akhirnya aku menemukan kalimat tempat aku melabuhkan kata tamat pada cerita cinta yang menguras kepala dan jiwaku. Zora telah temukan bahagianya, akankah aku juga…? Aku seperti merasa kehabisan energi menyelesaikan novelku kali ini. Namun aku sangat-sangat puas dapat menumpahkan segalanya dalam kalimat-kalimat itu.
Aku dan Zora adalah dua jiwa yang berbeda, tapi Zora adalah wujud dari sisi hidup yang tak kumiliki. Aku hanya bermimpi, mimpi menjadi sebuah jwa yang lain. Mungkinkah hatiku yang berbuah kebencian mampu mereguk manisnya cinta seperti Zora?
Kusandarkan kepala pada empuk pembaringanku, kupejam mata yang letih ini tapi aku tak berniat tuk tidur, karena aku belum ingin tidur, karena ini belum saatnya tidur.
Rangkaian waktu kembali terputar sangat jelas di mataku, waktu yang telah membawaku hingga ke titik ini. Mulai dari hangatnya dekapan bundaku tersayang hingga kerasnya tamparan hidup yang kujalani dengan kesendirian.
Apa kabarmu kini, Bundaku tersayang? Perempuan yang selalu tersenyum walau dengan mata sembab dan pipi membiru. Namun tetap saja ia begitu sangat cantik di mataku. Bunda, semoga kehidupanmu kini lebih indah tanpa lelaki maniak yang menjerat cintamu. Dan kau, lelaki yang seumur hidupnya tak sudi kupanggil ayah semoga siksa neraka nanti membayar seluruh airmata bundaku yang telah kau kuras.
Hampir saja aku terlelap, padahal aku belum ingin tidur, karena ini belum saatnya tidur. Prama sebentar lagi datang, aku menantikan kehadirannya. Kemarin dia janji mengajak aku merayakan selesainya novel baruku. Mungkin ini kesempatanku menguraikan simpul-simpul masalah yang membelitku.
Kakiku tak jua berhenti nenghentak lantai, ketegangan membuatku tak mampu menguasai gerak motorikku. Ahh, mengapa kali ini Prama begitu lamban.
“Pram, kenapa telat? Sedari tadi aku dilanda takut, aku takut keberanian ini hilang seiring bergantinya waktu” hatiku tak henti berujar sendiri. Huff…haruskah aku mengungkapnya, aku takut. Aku takut kehilangan ketika mulutku mengumbar rasa cinta yang sesungguhnya dan sebenar-benarnya terlarang untukku.
“Maaf…yah aku tadi banyak kerjaan, gimana acaranya sekarang atau diganti makan malam saja?” Prama membelai kepalaku, belaian yang lembutnya terasa menyentil hatiku.
“Ya udah biar malam saja, lagian sekarang juga sudah bukan waktu makan siang lagi.” jawabku segera.
Prama telah beranjak meninggalkan aku yang masih sibuk sendiri dengan isi kepalaku, ia membaringkan tubuhnya ke sofa di ruang tengah. Sepertinya ia sangat letih, hatiku menggoda, mengajakku ke sana membelai rambutnya, mengecup keningnya dan merasakan aroma tubuhnya. Tidak…! aku tak boleh ke sana, biarlah aku memandang wajahnya dari sini saja, dari sudut hatiku yang perih.
Aku sepertinya hampir menjadi gila.
**********
Rasa kantuk yang menyerangku tak mampu mengalahkan keinginanku mengunjungi makam bunda yang entah berapa lamanya terbengkalai dari kunjunganku, “Maafkan aku bunda” bukannya aku lupa namun hanya sedikit terlena dengan kehidupanku yang pahit.
Kutabur kelopak-kelopak mawar putih yang sangat bunda sukai di atas pusaranya. Semoga harumnya sampai di atas sana. “Bunda…aku merindukan senyuman dan pelukan hangat tubuh kurusmu.”
Bunda, aku ingin membuat suatu pengakuan. Prama, anak dari lelaki yang bunda kasihi tapi mencampakkan kita, kini dia hadir dalam kehidupanku. Dia menawarkan sejuta bahagia, dia menginginkan aku sebagai adik yang dikasihinya. Namun pengakuan terbesarku adalah “Aku mencintainya…aku menginginkannya dalam bentuk lain, aku menginginkannya seperti bunda menginginkan ayahnya”.
Bunda…aku tahu ini salah, bagaimana aku mengakhirinya. Aku tak pernah menyangka sisi kewanitaanku hadir di antara aku dan Prama. Dia satu-satunya lelaki yang memasuki hidupku setelah lelaki bunda itu dulu membuang kita.
“Bunda…maafkan aku. Aku terperosok kedalam kubangan yang lebih busuk dari yang pernah kau masuki. Aku tak mampu menjaga hatiku yang rapuh, maafkan aku bunda. Maaf……..”
Bunda… aku sudah sangat letih, rasa kantukku tak mampu lagi kutahan. Bunda… tunggu aku! Sebentar lagi aku kan tertidur. Karena waktunya sudah hampir tiba, saatnya aku tidur.
***************
Kediamam Prama Adhytia 07:15 wita
“Seorang gadis belia ditemukan bersimbah darah Jumat dini hari di atas sebuah pusara , gadis yang identitasnya diketahui bernama Lara Sekar Ayu diduga mencoba mengakhiri hidupnya sendiri dengan motif yang belum jelas.”
Prama tersentak mendengar ulasan berita pagi yang baru saja ditontonnya, ia segera berlari tanpa menghiraukan apapun. Yang ada di kepalanya hanya Lara. Lara, mengapa Lara ? mengapa ?
Koridor Rumah Sakit 08:11wita
Wajah kusut dan kebingungan. Prama berlari mencari sosok yang sangat di kasihinya. Satu-satunya orang terkasih yang dimilikinya.
“Sus, Lara…gadis yang mencoba bunuh diri ?” ucapnya tergesa.
“Ruang Intensive Care…di sebelah sana”
Prama kembali berlari, tingkahnya hampir seperti orang gila. Airmatanya tak terbendung ketika melihat sesosok tubuh yang terbaring, selang infus dan alat bantu pernafasan menancap di tubuh diam itu.
“Lara bertahanlah…aku di sini, jangan tinggalkan aku dalam kesendirian” bisiknya. Prama bersimpuh memohon suatu keajaiban datang membangunkan Lara.
*************
“Assalamualakum…selamat pagi, Lara…”
Prama menyapa dari balik kaca, di hari ke empat Lara bergeming. Setitik asa Prama semai dalam hatinya, semoga Lara kembali, menemukan jalannya pulang ke sini, kepelukannya. Kali ini Prama tampak begitu rapi, bersih. Tak tampak lagi kekusutan yang ada beberapa hari lalu. Kini ia lebih tenang, terlebih ketika membaca ayat-ayat suci, mengirim doa untuk Lara seperti saat ini. Sampai hari ke empat Lara dinyatakan koma, Prama tak pernah beranjak kecuali ketika Shalat tiba. Karena saat itu pasti ia kan pergi bersujud menghadap-Nya.
“Pak Prama…nona Lara sudah siuman…”
Seorang suster menemuinya di Musholla Rumah sakit. Alhamdulillah…terima kasih, Tuhan. Langkahnya sesegera mungkin menuju kamar Lara. Tak terkira bahagianya ketika mendengar berita itu.
“Lara……”
“Kak Prama…maaf…”
“Jangan lagi Lara…”
Tiada terbendung lagi haru di antara dua insan itu. Prama mengengam tangan Adiknya terkasih. Tak ada kata lagi yang dapat menggambarkan perasaanya saat ini.
“Bunda… maafkan Lara. Ternyata Lara belum ingin tidur,….”
@sekolah menulis FLP Sulsel 2006….
Selasa, 24 Mei 2011
Parade cinta Matahari, Bulan dan Bintang
Yang satu bintang…
Sama berpijar… mempesona…
Matahari menawarkan kehangatan…
Bintang memberikan keteduhan…
Tanpa banyak kata bintang mencuri, hatiku. Lalu apa yang harus kukata? Jika matahari meminta asa yang pernah dititipkannya, Cintaku. Ahhh akulah bulan yang malang, terjebak dalam rasa yang rumit….
Saat rindu membuncah, saat tangisku pecah. Hatiku menjadi gelisah. Pikiranku pun gundah. Saat kumerasa kalah. Kalah terhadap janjiku sendiri. Kalah terhadap cita-cita yang terpatri. Namun akal sehatku menggeliat menolak. Aku harus tetap berdiri tegak. Teguhkan hati untuk beranjak. Selesaikan tugas sampai tiba finish kontrak.
Enyahkan segala rasa. Himpun kasih atasnya…
”My life is perfect because i have you” …. haruskah kuabai rayu itu?? ahhh susahnya jadi bulan yang plin plan…
Bulan tak akan plin plan hnya mentari menyekat di sela kolong langit kehampaan…
Atau mungkin kelak bulan memilih menjadi sabit yang tergulung malam…
Tanpa bintang, tanpa matahari…
Malam akan mengikis sebuah kata…
Bintang akan terbenam dalam bara mentari…
Bulan, Bintang, dan Matahari jadi abu tanpa bara…
Matahari…
Bintang…
Matahati…
Bintanghati…
Terimakasih atas cahaya cinta yang menyilaukan…
Dalam semesta langit hati yang berpendar…
Bulan mencari jawab…
Bintang….
Matahati….
Bintanghati
Di bilik ini rongga setiap titik gelora
Bumi tetap slamu menengadah
Seloroh cinta menyepi karang terelung
Serpihan malam bersama mas Agus Yulianto dan mas Wong Karang di Aksara Bebas..
Makasih…
By Desi Dian Yustisia..
Senin, 23 Mei 2011
Air dan Aur (Flash Fiction)
Sebuah Pengakuan…..
Aku punya janji istimewa untukmu…
Janji yang hanya akan kubisikkan pada Tuhanku saja…
Padamu, yang kelak dipilih Tuhan tuk menjadi lelakiku…..
Aku punya sebentuk hati yang tak sempurna
Pernah tergerus oleh kekecewaan yang luar biasa
Pernah terpatah oleh egois yang dahsyat
Tapi untukmu, janjiku buatmu lelaki paling beruntung di dunia…
Padamu, lelaki yang kuingin dipilih Tuhan untuk jadi Rajaku….
Aku punya harapan yang tak ada tandingannya…
Harapan yang menyempurnakan penantianku padamu…
Lelakiku….
Sejatinya hatiku menyebut kebahagiaan
ketika kau hadir dan menyematkan mahkota keratuanmu dihatiku…..
Inilah pengakuanku,… kutulis hanya untukmu…
Aku dan kota kecil ini…..
Biaskan ingat tentang pagi di tempat ayah dan ibu yang kutinggal…
Pagi yang selalu bangunkan aku dengan perasaan bersalah…Ketika raga tak mampu bangunkan hatiku tuk pulang…
Pagi di kota kecil ini…
Ada rindu yang menggeliat dibekas tidurku semalam…
Rindu yang setia memeluk dinginku juga sisa tangis itu…Tapi lagi-lagi aku belum ingin pulang…
Kota kecil ini…
Jadi saksi kisah hati…
Aku masih membersihkan luka batinku
Sebelum ikhlas memutuskan untuk pulang…